HARI-hari belakangan ini seruan dan ajakan untuk unjuk rasa pada hari Sabtu, 24 Juli 2021 terus bergema di linimasa.
Mereka beranggapan, pemerintah saat ini jauh api dari panggang alias gagal total dalam mengatasi pandemi Covid-19.
Kebijakan yang dikeluarkan rezim Jokowi seperti Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dianggap hanya menyengsarakan rakyat.
Ajakan turun ke jalan dengan melakukan longmarch dari Kawasan Glodok ke Istana Merdeka, Jakarta adalah untuk mendesak Jokowi supaya turun dari jabatan presiden.
Tidak hanya di Jakarta, seruan demo ini juga menjalar ke kota-kota besar melalui pesan berantai. Tanpa ada struktur rantai komando, tidak ada hirarki dan tidak ada penggerak, mereka yang mengklaim sebagai aksi unjuk rasa yang bersifat cair.
Berbeda dengan eskalasi aksi unjuk rasa di rezim Soeharto, pengunjuk rasa dengan terang-terangan menyebut nama kampus atau nama organisasinya.
Demikian juga saat era Susilo Bambang Yudhoyono, aksi protes kasus Bank Century juga “terang benderang” menyebut nama institusi yang melakukan unjuk rasa.
Kali ini di aksi unjuk rasa yang diberi tajuk “Jokowi End Game”, organisasi pengendara ojek online menolak dikait-kaitkan dengan kegiatan ini.
Para pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro, Yogyakarta akan melawan para pendemo jika nekat memasuki kawasan perniagaan tersebut.
Belum lagi, dugaan foto para provokator demonstrasi disebar di berbagai linimasa sehingga gerakan ini layu sebelum berkembang.
Di saat kondisi rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang membludak karena tidak mampu menampung pasien, proses penguburan jenazah yang terhambat lama karena semakin banyaknya pasien Covid yang wafat, antrean pengisian tabung oksigen di mana-mana serta semakin terbatasnya akses mobilitas, maka keputusan untuk aksi turun ke jalan sangatlah tidak tepat.
Belum lagi, potensi terjadinya penularan karena kerumunan massa sama saja dengan menambah beban rumah sakit yang sudah over kapasitas.
Pandangan publik yang sebelumnya mungkin simpati dengan tuntutan aspirasi para pendemo, tentu akan berupah menjadi antipati jika terjadi pelanggaran aturan protokol kesehatan dan anarkis.
Akan lebih berdampak strategis dan potensial menarik simpati luas jika aksi unjuk rasa turun ke jalan dialihkan kegiatan sosial dalam skala besar misal menjadi jaringan relawan membantu warga yang isolasi mandiri di rumah, menjadi relawan di Wisma Atlet dan shelter-shelter penampung penderita Covid, membantu dapur umum atau ikut meringankan beban penggali kuburan.
Aksi terpuji yang dilakukan mahasiswa Cianjur, Jawa Barat, Wisnu Sopian yang rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk mengantarkan bahan makanan bagi penderita Covid yang tengah isolasi mandiri di rumah (Kompas.com, 21/07/2021), harusnya menjadi inspirasi gerakan sosial mahasiswa yang bisa dilakukan di masa pandemi.
Baca juga: Perjuangan Wisnu Sopian, Tempuh Jarak 40 Km demi Pasok Bantuan ke Warga Isoman