Bagi buruh, jika PPKM dilanjut sama saja dengan mengabaikan nasib buruh yang sudah “ngos – ngosan” didera dampak PPKM.
Kalangan usaha juga serupa, perpanjangan PPKM sama saja dengan upaya mematikan usaha mereka dengan sistematis.
Selain tidak ada upaya keringanan pajak di saat operasional usaha terhenti, pemerintah juga tidak memberikan solusi bagi kelanjutan usaha mereka.
Para penggiat aksi kemasyarakatan juga menyatakan ketidaksetujuan mengingat bantuan sosial dan bantuan tunai di masa pandemi kerap salah sasaran dan rawan dengan terjadinya korupsi.
Di tengah kekhawatiran aksi protes masal “pengibaran bendera putih” sebagai pertanda mosi tidak percaya kepada pemerintah, Jokowi sekali lagi harus menhambil keputusan yang tidak populer.
Hasil jajak pendapat terbaru membuktikan, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi dalam penanganan covid dari waktu ke waktu semakin terjerembab.
Survei Lembaga Survei Indonesia yang baru saja diumumkan (19 Juli 2021) menyebut Jokowi hanya mendapat ponten 59,6 persen di paruh Juni 2021.
Padahal di Agustus 2020, masih 65,5 persen masyarakat yang puas dengan kinerja Jokowi dalam mengatasi covid.
Di September 2020, turun lagi di angka 64 persen, di Oktober 2020 anjlok lagi di 57,9 persen walau sempat naik ke angka 66,4 persen (November 2020) dan 68,9 persen di Desember 2020.
Baca juga: LSI: Tingkat Kepercayaan Publik pada Jokowi dalam Tangani Pandemi Capai Titik Terendah
Di tengah badai pandemi covid yang belum bisa diprediksikan kapan berakhirnya, kebijakan perpanjangan PPKM Darurat sebaiknya dipandang sebagai upaya final dalam menghentikan laju penyebaran kasus positif covid.
Perpanjangan PPKM Darurat kali ini yang terakhir sebagai rangkaian upaya uji coba, yang sebelumnya terkesan “gas” dilepas dan “rem” diinjak.
Gas di lepas itu ketika mengendorkan kebijakan larangan ketat dan rem diinjak itu muncul di saat terjadinya ledakan penyebaran kasus positif covid.
Harus ada konsistensi, ketegasan dan kekompakkan di tim pemerintahan Jokowi. Tidak boleh lagi ada kebijakan di lapangan yang ambigu, tidak boleh lagi ada menteri yang mengeluarkan pernyataan di luar kewenangannya, semua kebijakan menteri harus fokus kepada penanganan penyelamatan nasib rakyat serta mempertebal sense of crisis.
Koordinasi dan komunikasi di era Jokowi ini memang sangat payah. Kasus lemahnya koordinasi penyaluran bantuan tabung oksigen dari Singapore untuk Pemerintahan Kota Solo adalah buktinya.
Oksigen yang sudah tiba, tidak bisa digunakan segera karena harus menunggu persetujuan dari berbagai instansi di pusat. Perlu gerak cepat dan menyederhanakan rantai birokrasi di masa pageblug ini.
Baca juga: Akhirnya 200 Tabung Oksigen Hibah Singapura Dikirim ke RS Rujukan Covid-19 di Solo