Pada kedua narasi tersebut, Puan Maharani tidak hanya menunjukkan kapasitasnya sebagai Ketua DPR dan politikus yang mewarisi ideologi Bung Karno.
Pada narasi pertama, kemunculan mbak Puan bisa ditafsirkan sebagai figur ibu muda yang sedang menyugesti anak-anaknya agar senantiasa menjaga iman dan imun agar aman dari badai pandemi.
Adapun pada narasi yang kedua, Puan Maharani dihadirkan sebagai perempuan muda yang tengah mengepakkan sayapnya untuk menjaga kebhinekaan Indonesia.
Pemilihan frasa "kepak sayap" mengandung makna bahwa Puan Maharani merupakan sosok yang memiliki kekuasaan yang terlegimitasi atau legitimate power sebagaimana dijelaskan dua pakar psikologi sosial asal Amerika Serikat John RP French dan Bertram Raven.
Legitimate power sering disebut juga dengan kekuasaan posisional, yakni kekuasaan yang melekat pada seorang individu karena memegang jabatan dalam suatu organisasi.
Sajian iklan politik dan baliho Puan Maharani sontak mengundang perbincangan serta kritik. Pesan-pesan politik melalui beragam medium komunikasi pada akhirnya selalu menggelitik.
Tidak ada yang sempurna dari sebuah taktik. Politik sebagai seni pada akhirnya mendorong seorang Puan Maharani masuk ke palagan guna membangun tapak-tapak keterkenalan secara perlahan.
Penayangan baliho dan iklan politik ini baru penanda awal. Dalam rentang tiga tahun ke depan, adu strategi dan taktik Puan Maharani tampaknya akan semakin mengundang perbincangan.
Apakah ini hanya akan berhenti sebagai sebuah gelitik atau taktik yang berhasil, kita lihat bersama.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.