JAKARTA, KOMPAS.com – Rektor Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro sempat menjadi sorotan lantaran merangkap jabatan sebagai Wakil Komisaris Utama di salah satu bank BUMN pada akhir bulan Juni lalu.
Hal ini terungkap setelah Rektorat UI memanggil sejumlah pengurus BEM UI yang diduga terlibat dalam penerbitan unggahan kritik poster BEM UI di media sosial yang bertajuk "Jokowi: The King of Lip Service".
Rangkap jabatan Ari Kuncoro sebagai Rektor UI dan Wakil Komisaris Bank BRI dinilai sebagai pelanggaran atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta UI.
Pasalnya, beleid tersebut melarang rektor UI merangkap jabatan pejabat di perusahaan pelat merah.
“Artinya, Rektor UI telah melakukan malaadministrasi, karena jelas-jelas melanggar ketentuan yang berlaku,” kata Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika kepada Kompas.com, Selasa (29/6/2021).
Namun, baik Ari maupun pihak UI tak pernah berkomentar soal pelanggaran rangkap jabatan ini. Pertanyaan yang bersifat konfirmasi dari Kompas.com tak pernah berbuah hasil. Ari dan UI tak sekali pun menjawab.
Sekitar sebulan berselang, Rektor UI kembali menjadi sorotan publik, tepatnya setelah pemerintah merevisi PP 68/2013 tentang Statuta UI.
Baca juga: Statuta UI Direvisi, Ini Perubahan soal Rangkap Jabatan Rektor UI
Terkait revisi ini, Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia (MWA UI) mengatakan, pihaknya sudah menerima salinan revisi atas PP Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta UI.
Revisi Statuta UI yang baru termuat dalam PP Nomor 75 Tahun 2021. Menurutnya, proses revisi ini sudah mulai dilakukan sejak akhir tahun 2019.
"Benar, kami MWA juga baru terima salinannya (revisi Statuta UI)," kata Ketua MWA UI Saleh Husin saat dikonfirmasi Kompas.com, Senin (20/7/2021) malam.
Baca juga: MWA Benarkan Statuta UI Direvisi, Ubah Aturan Rangkap Jabatan Rektor UI
Dalam salinan PP Nomor 75 Tahun 2021 yang diterima dari sumber Kompas.com, salah satu perubahan adalah terkait rangkap jabatan rektor dan jabatan struktural UI.
Pada Pasal 35 huruf c PP 68/2013, rektor dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat perusahaan BUMN/BUMD. Begini isinya:
“(Rektor dan wakil Rektor dilarang merangkap sebagai) pejabat pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta,” tulis Pasal 35 huruf c PP 68/2013.
Sementara itu, dalam Pasal 39 huruf c PP 75/2021, rangkap jabatan di BUMN/BUMN hanya dilarang untuk jabatan direksi.
Artinya, ada celah untuk rangkap jabatan di posisi lain karena tidak disebutkan dalam pasal tersebut.
“(Rektor dan wakil Rektor, sekretaris universitas, dan kepala badan dilarang merangkap sebagai) direksi pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta,” tulis Pasal 39 huruf c PP 75/2021.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai, revisi tersebut tidak berlaku surut bagi Rektor UI yang disahkan dengan statuta lama.
“Meskipun statuta diubah, yang jelas rangkap jabatan Rektor UI tetap tidak sah karena diangkat dengan statuta yang lama,” kata Feri saat dihubungi, Selasa (20/7/2021).
Menurut Feri, meskipun PP 68/2013 itu sudah direvisi, Ari Kuncoro tetap terikat dengan aturan yang lama.
Oleh karena itu, Feri mengatakan, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) dapat memberhentikan Ari Kuncoro.
Baca juga: Pusako: Statuta Baru Tak Berlaku Surut, Rangkap Jabatan Rektor UI Tidak Sah
Bahkan, ia menyebutkan, persoalan rangkap jabatan Ari Kuncoro dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Secara terpisah, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengkritik perubahan aturan mengenai rangkap jabatan rektor UI tersebut.
Menurut Bivitri, seharusnya persoalan rangkap jabatan Ari Kuncoro itu diperbaiki, tetapi bukan dengan mengubah peraturannya.
“Ini langkah yang aneh dan sangat menggambarkan politik hukum kita belakangan ini,” kata Bivitri saat dihubungi Kompas.com, Selasa.
Baca juga: Perubahan Ketentuan Rangkap Jabatan Rektor UI Dinilai Aneh
Bivitri pun menilai, belakangan ini peraturan di Indonesia cenderung dibuat hanya untuk melegitimasi keinginan pemangku kebijakan, tanpa mengedepankan prinsip good governance dan etika.
“Politik hukum kita kan belakangan selalu seperti ini, peraturan dibuat untuk melegitimasi apa yang diinginkan pembuat aturan sendiri,” tutur dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.