SAAT mengumumkan pembatalan vaksin berbayar di Jakarta (Jumat, 16 Juli 2021 kemarin), Presiden Joko Widodo meminta kepada seluruh jajarannya di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat untuk mengedepankan “sense of crisis”.
Bisa jadi, Jokowi mengakui masih ada jajarannya yang kurang bahkan tidak bisa mengimbangi ritme kerja dan kemauan Presiden.
Selama dua minggu pertama di bulan Juli ini saja, Presiden “dihantam” berbagai persoalan maha berat. Mulai dari melonjaknya angka positif covid yang menembus rekor harian dunia di kisaran 50 ribu kasus, angka kematian covid harian yang membumbung tinggi di kisaran 800 hingga 1.200 jiwa, kelangkaan oksigen, semakin tidak berdayanya daya tampung rumah sakit, kelambanan pembayaran insentif tenaga kesehatan, langkanya obat-obatan, kontroversi vaksin berbayar, masih rendahnya angka vaksinasi di masyarakat, kurangnya tenaga kesehatan, dan dokter hingga pro kontra perpanjangan PPKM.
Tak pelak, kubu yang berseberangan politik menyebut Jokowi tidak piawai menjadi nakhoda bangsa ini dan mencemaskan Indonesia menjadi bangsa yang gagal.
Melihat kesungguhan dan kerja nyata Jokowi selama ini, sebetulnya kita tidak meragukan komitmen mantan Gubernur DKI Jakarta ini.
Jika di malam sebelumnya Jokowi hadir dalam peninjauan kesiapan Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur menjadi tempat perawatan penderita covid, malam berikutnya Presiden muncul di Rumah Susun Sewa Pasar Rumput, Jakarta Selatan, untuk memastikan pengoperasian penampungan pasien covid.
Selanjutnya “nongol” di perkampungan Sunter Agung, Jakarta Utara, untuk membagikan secara simbolis paket bantuan sembako untuk warga yang terdampak covid. Jokowi boleh dikatakan “gas pol” – meminjam istilah anak muda sekarang untuk menyebut kerja spartan – dalam menanggulangi terjangan keganasan covid-19.
Di lingkup TNI dan Polri, pelibatan personel dalam menjaga penyekatan transportasi, gelaran rumah sakit lapangan, terlibat dalam program vaksinasi di masyarakat hingga membantu proses penyaluran paket bantuan untuk warga yang isolasi mandiri di rumah patut mendapat acungan jempol.
Kondisi geografis negara kita yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, dari Mianggas hingga Pulau Rote bukan persoalan sepele. Topografi wilayah kita memang memiliki karakteristik yang menantang.
Dari informasi sahabat penulis yang tinggal di Langgur, Maluku Tenggara, proses vaksinasi dosis pertama, sudah diterima sebagian warga di ujung Provinsi Maluku yang berbatasan dengan Laut Arafura di sebelah selatan.
Terkadang ada sebagian warga yang tidak peduli bahkan melupakan “kebesaran” negara kita dengan membandingkan penanganan covid di negara-negara lain dengan Indonesia. Pembandingannya pun tidak “apple to apple” tetapi apel dengan kesemek atau buah genit.
Misalnya membandingkan dengan Brunei atau dengan Malaysia. Jelas sebuah komparasi yang tidak tepat jika kita menggunakan parameter luasan wilayah dan jumlah penduduknya.
Total penduduk Brunei Darrusalam di 2021 hampir mencapai 331.800 jiwa, sementara jumlah penduduk Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah di tahun 2020 saja sudah mencapai 1.350.438 jiwa. Luas Brunei hampir identik dengan luasan Provinsi Bali. Belum lagi jika indikator ekonomi yang digunakan.
Di tengah karut-marut persoalan penanganan covid, sungguh miris jika ada pembantu Presiden yang masih bangga bisa menyaksikan sinetron Ikatan Cinta di masa PPKM Darurat lengkap dengan ulasan kontroversi masalah hukum pidananya.
Memang tidak ada ketentuan yang dilanggar, tetapi akan lebih bijak jika masalah privat seperti hobi sang menteri menonton tayangan hiburan tidak diumbar ke media sosial.
Selain menjadi santapan serangan politik – yang lagi-lagi diarahkan kepada Jokowi -, membanggakan waktu menonton hiburan seperti menertawakan derita rakyat yang berpeluh mencari makan akibat penerapan jam operasional atau berjibaku mencari kamar perawatan di rumah-rumah sakit akibat penuhnya dengan pasien covid.
Belum lagi menteri yang diserahi tugas mengkoordinasi PPKM, kerap mengeluarkan pernyataan yang ambigu.
Awal minggu menyebut masalah covid bisa dikendalikan tetapi di kemudian hari bilang kondisi covid delta sulit dikendalikan. Padahal, rakyat butuh jaminan dan ketenangan dari pemangku tertinggi.
Sebagai pemegang kendali di lapangan, harusnya bisa memberikan laporan yang obyektif kepada Jokowi –jauh dari kesan Asal Bapak Senang– tentang kondisi faktual di lapangan agar Presiden bisa memutuskan kebijakan dengan tepat tanpa cela.
Kegagalan penerapan kebijakan vaksin berbayar -walau apotek dan gerai Kimia Farma di beberapa daerah sudah siap melaksanakannya- sebetulnya tidak boleh terjadi jika sebelum keputusan ini diambil, dipertimbangkan dengan masak, dan melakukan kajian serta sosialisasi terlebih dahulu.
Desakan sebagian akademisi, aktivis LSM, politisi bahkan organisasi kesehatan dunia (WHO) untuk membatalkan vaksin berbayar menjadikan Jokowi harus “menanggung” malu ulah kebijakan para menterinya. Padahal jika dikemas dengan sosialisasi yang tepat, yakni dengan mengedepankan unsur kegotongroyongan tanpa mengorbankan vaksin hasil hibah, tentu opini positif masyarakat bisa terbangun.
Padahal tawaran dari kalangan swasta di Amerika Serikat yang menyediakan vaksin berbayar sambil pelesiran kepada kalangan berduit di Indonesia, juga sangat kasat mata. WHO pun tidak mempermasalahkan.
Keluarga pembantu Presiden pun harusnya ikut menenggangrasa dengan tugas-tugas mulia orangtuanya dalam menangani persoalan tragedi kemanusian terbesar sepanjang masa. Membanggakan liburan mewah di Jepang di media sosial seakan abai dengan perjuangan seorang dokter muda di Jogya yang rela menyediakan waktunya untuk konseling gratis bagi warga yang tengah isolasi mandiri di rumah.
Sekali lagi, memang tidak ada aturan yang dilanggar dan berwisata adalah hak pribadi dan bukan urusan negara. Akan bijak jika “tepo seliro” dikedepankan apalagi terkait dengan image ayah yang akan maju sebagai calon presiden mendatang.
Di saat sebagian besar rakyat kita sedang sedih dan susah, memamerkan kemewahan dan kekayaan seperti mengejek dan mentertawakan kemiskinan. Ironis!
Seruan Presiden Joko Widodo yang meminta jajarannya untuk mengedepankan sense of crisis, sejatinya telah dilakukan oleh rakyat tanpa komando. Semua pihak terpanggil untuk membantu meringankan derita sesama anak bangsa.
Jika pengusaha sekaliber Sukanto Tanoto mendatangkan bantuan oksigen dalam jumlah yang besar, maka seorang pengusaha lokal di Nunukan, Kalimantan Utara, bernama Haji Momo pun rela mengisi tabung-tabung oksigen yang kosong di Sebatik –perbatasan dengan Sabah, Malaysia– ke tempat pengisian oksigen di Tarakan. Butuh 4 jam perjalanan dengan speed boat dari Sebatik menuju Tarakan (Kompas.com, 10 Juli 2021).
Saat ini adalah waktu yang tepat, profit bukanlah menjadi tujuan para pengusaha semata tetapi kemanusian dan jiwa patriotisme harus menjadi tujuan mulia.
Dari kalangan partai pun juga tidak ketinggalan. DPP PDI Perjuangan membuka dapur umum untuk menyuplai kebutuhan makan bagi para penderita covid yang tengah isolasi mandiri di rumah. Dengan menggaet salah satu operator layanan online, bantuan makanan ini akan cepat sampai kepada pihak-pihak yang membutuhkan.
Putri Megawati Soekarnoputeri, Puan Maharani membawa bantuan vaksin ke Jawa Timur sementara politisi lain menggelar vaksinasi di Ciracas, Jakarta Timur.
Nasdem pun tidak ketinggalan menggelar vaksinasi di berbagai tempat. Andai semua partai terlibat dalam penanganan covid, maka perbedaan warna bendera partai bisa dikesampingkan demi membantu derita rakyat.
Struktur partai yang menjangkau hingga tingkat ranting di level kelurahan sebetulnya adalah potensi struktur organisasi yang besar manfaatnya. Menggalang dan menyalurkan bantuan akan menjadi mudah.
Gerakan kreatif dengan pemanfaatan kemajuan teknologi digital berupa platform penggalangan dana juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Kitabisa.com dan WeCare.id misalnya, menjadi wahana pengumpulan bantuan dermawan yang masif (crowdfunding).
Tidak ketinggalan aplikasi-aplikasi niaga seperti ; Ovo, Grab, Shopee, Tokopedia, Paxel, Gojek, dan lain-lain pun juga terlibat aktif dalam menghimpun bantuan dari masyarakat umum.
Sejarah mencatat, rakyat Aceh bisa terketuk jiwa patriotisme dengan menyumbang harta yang dimilikinya untuk membeli pesawat Dakota C-3 Seulawah di masa perjuangan dulu. Sekarang, kita harus buktikan kita mampu bergotong royong untuk membantu sesama agar covid-19 tidak merajalela.
Saya jadi teringat dengan pidato Bung Karno di depan Sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, “Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua. Keringat semua buat kebahagian semua. Holopis kuntul baris buat kepentingan bersama”.
Itulah syarat utama untuk maju menjadi pemenang mengatasi covid-19 yaitu gotong royong.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.