JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menilai mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo terbukti bersalah karena menerima suap sekitar Rp 25,7 miliar dari para eksportir benih benur lobster (BBL).
Atas perbuatannya itu, majelis hakim menjatuhkan vonis lima tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan.
Majelis hakim menilai Edhy Prabowo terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001.
Baca juga: Edhy Prabowo Divonis 5 Tahun, Lembaga Kehakiman Dinilai Tak Lagi Bisa Diandalkan
Majelis hakim juga menghukum Edhy Prabowo untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 9,68 miliar dan 77.000 dollar AS subsider dua tahun penjara.
Hak politik Edhy Prabowo juga dicabut selama tiga tahun terhitung sejak Edhy selesai menjalankan masa pidana pokok.
Vonis untuk Edhy Prabowo tidak diambil secara bulat oleh majelis hakim. Satu anggota majelis yaitu hakim anggota 1 Suparman Nyompa, memiliki pendapat yang berbeda.
Baca juga: Bandingkan Putusan Edhy Prabowo dengan Pinangki, MAKI: Harusnya Bisa 10-15 Tahun
Ia menilai Edhy Prabowo lebih tepat dijerat dakwaan alternatif kedua yaitu Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Bukan Pasal 12 huruf a UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
"Tidak tepat jika terdakwa dinyatakan telah melanggar ketentuan Pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP sebagaimana dakwaan alternatif pertama," kata Suparman seperti dilansir Antara, Jumat (16/7/2021).
Baca juga: Vonis Ringan Edhy Prabowo, ICW Duga Pimpinan KPK Ingin Lindungi Pelaku Suap Ekspor Benih Lobster
Ancaman hukuman pidana pada pasal 11 UU Tipikor tersebut lebih rendah yaitu minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara. Sedangkan pada pasal 12 huruf a, ancaman terendahnya adalah 4 tahun penjara dan tertinggi seumur hidup.
Ada beberapa pertimbangan mengapa Hakim Suparman menilai Edhy lebih tepat dijerat pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Pertama, karena Suparman menilai, selaku Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo tidak terbukti meminta atau menyuruh untuk menerima sejumlah uang dari Suharjito yang merupakan pemilik PT DPPP.
"Bahwa dalam persidangan tidak ada bukti dan tidak ada fakta jika terdakwa Edhy Prabowo minta uang atau memerintahkan kepada tim uji tuntas atau 'due dilligence' atau memperoleh hadiah dari Suharjito yang meminta dan menerima uang dari semua kita sejumlah 77 ribu dolar AS adalah Safri selaku wakil ketua tim uji tuntas, namun tidak ada bukti Safri melakukan perbuatan tersebut atas perintah atau pun diketahui oleh terdakwa," ujar Suparman seperti dilansir Antara, (16/7/2021).
Baca juga: Sekretaris Pribadi Edhy Prabowo Divonis 4 Tahun 6 Bulan Penjara
Selain itu, menurut Suparman, Edhy Prabowo hanya menekankan dan meminta agar setiap permohonan yang masuk untuk budi daya dan ekspor BBL agar tidak dipersulit, tapi justru harus dipermudah.
"Begitu juga di sini yang lain dalam usaha perikanan, yaitu izin kapal tangkap ikan yang sebelumnya memakan waktu cukup lama. Kemudian setelah terdakwa Edhy Prabowo menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan, izin usaha kapal penangkap ikan dapat selesai dalam waktu yang singkat," kata Suparman.
Mengenai pemberian uang dari pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama Suharjito kepada staf khusus Edhy Prabowo yaitu Safri, kemudian Safri menyerahkan uang tersebut kepada sekretaris pribadi Edhy yaitu Amiril Mukminin, menurut hakim Suparman tidak bisa langsung dihubungkan.
"Cukup jelas terlihat terdakwa Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan hanya menerbitkan Peraturan Menteri KKP Nomor 12/PERMEN-KP/2020 tanggal 4 Mei 2020. Pelaksanaan permen tersebut dilakukan oleh tim uji tuntas bersama-sama dengan dirjen dan badan dalam lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan," katanya.
Baca juga: Hakim Cabut Hak Politik Edhy Prabowo Selama 3 Tahun
Meski begitu, Suparman setuju bahwa pada 17-24 November 2020, Edhy Prabowo bersama rombongan melakukan perjalanan dinas ke Amerika Serikat dan bersama istrinya sempat membeli belanja kebutuhan pribadi, seperti membayar jam Rolex, tas, koper, sepeda, dan lain-lain.
"Terdakwa membeli barang dari kartu debit emerald personal yang diberikan sekretaris pribadi terdakwa Amiril Mukminin ketika terdakwa masih di Jakarta. Namun sumber dana kartu debit itu sebagian ada dari uang pemberian Suharjito. Meski terdakwa dalam sidang tidak mengetahui ada uang dari Suharjito, terdakwa tidak pernah mengurus dan tidak perhatikan mengenai uang masuk dari Amiril, terdakwa hanya mau tahu apakah ada uang atau tidak," kata Suparman.
Padahal, menurut Suparman, Edhy selaku atasan Amiril sepatutnya bertanya ke Amiril mengenai uang yang masuk.
"Karena itu uang yang telah digunakan terdakwa melalui kartu debit yang diberikan Amiril Mukminim, maka terdakwa harus bertanggung jawab," ujar Suparman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.