JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati mengaku tak sepakat dengan pendapat jika Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dinilai merupakan desakan yang datang dari satu kelompok yaitu kaum perempuan saja.
Justru sebaliknya, RUU PKS dinilai sangat penting mengingat korban kekerasan seksual yang berjatuhan tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki dan anak-anak.
"Kalau kita bicara, saya kemarin mengikuti proses RDPU kemarin bahwa ada yang mengatakan RUU PKS ini sebenarnya hanya kepentingan dari kelompok, salah satunya perempuan saja. Tapi sebenarnya angka kekerasan yang kita dapati itu bukan hanya korban perempuan, tetapi laki-laki dan anak-anak," kata Mike dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa (13/7/2021).
Mike melanjutkan, selain perempuan, laki-laki dan anak-anak, korban kekerasan seksual juga dialami kelompok lainnya.
Kelompok tersebut, kata dia, di antaranya kelompok marginal atau kelompok tertinggal. Ia mengungkapkan, kelompok disabilitas juga tak luput mengalami kekerasan seksual.
Baca juga: Koalisi Perempuan: Jika RUU PKS Dianggap Tak Penting, Negara Biarkan Kekerasan Seksual
"Juga mereka yang tinggal jauh dan sulit mengakses pertolongan dan hukum. Sehingga kalau kita bicara pertolongan atau akses keadilan terhadap kekerasan seksual itu sulit untuk didapatkan," ucapnya.
Atas dasar itu, Mike berpandangan bahwa RUU PKS penting disahkan karena merupakan suara-suara korban kekerasan seksual.
Menurutnya, suara-suara korban adalah mereka yang mengalami kekerasan seksual, tetapi sulit untuk mengadu atau menyuarakan kasus yang dialaminya.
"Kalau kita bicara RUU PKS itu adalah suara korban. Suara korban yang selama ini mereka sulit untuk bersuara atau mengadu, karena kita juga punya sistem budaya yang patriarki," tutur dia.
Mike juga menyampaikan sejumlah argumen untuk menguatkan desakan pengesahan RUU PKS tersebut.
Pertama, KPI berangkat dari posisi negara terhadap fakta kekerasan seksual bahwa Indonesia sebagai negara perlu mengakui penghormatan terhadap harkat dan martabat bangsa.
"Untuk itu baiknya, Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat tentang jaminan rasa aman dan keadilan bagi korban yang kuat," kata Mike.
Selain itu, Mike mengungkapkan bahwa yang terjadi saat ini adalah Indonesia terus menunjukkan banyaknya korban kekerasan seksual yang berjatuhan.
Baca juga: Pemerintah Masih Tunggu DPR untuk Lanjutkan Pembahasan RUU PKS
Mereka yang menjadi korban, kata dia, justru tidak mendapatkan keadilan dan perlindungan.
Mike berpendapat, apabila negara mengabaikan hal-hal tersebut dengan cara menganggap RUU PKS tidak penting, maka negara melakukan pembiaran terhadap kekerasan seksual.
"Ketika UU ini tidak dianggap penting, maka artinya bisa jadi negara melakukan pembiaran terhadap banyaknya angka kekerasan seksual yang berjatuhan," ujarnya.
Lebih lanjut, Mike mengingatkan pemerintah dan DPR bahwa dalam 10 tahun terakhir, tren kekerasan seksual masih berada dalam ranah domestik.
Namun yang terjadi saat ini adalah tren kekerasan seksual telah meluas terjadi ke arah atau ranah publik.
"Ketika kita bicara di tempat kerja, di kampus, sekolah, bahkan mungkin di lembaga keagamaan, transportasi publik dan ruang publik lainnya yang selama ini juga merupakan area dari kekerasan seksual," jelasnya.
Perlu diketahui, RUU PKS dinyatakan masih masuk dalam 33 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 setelah Baleg DPR menetapkan dalam rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM dan DPD RI di Kompleks Parlemen, Selasa (9/3/2021).
Sejak digagas Komnas Perempuan pada tahun 2012, pembahasan RUU PKS tak kunjung selesai, bahkan berulang kali ditunda.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.