JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana menilai penanganan dugaan kasus korupsi paket bantuan sosial (bansos) Covid-19 menjadi salah satu yang terburuk di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah kepemimpinan Firli Bahuri.
Kurnia memaparkan beberapa poin kejanggalan KPK dalam menangani perkara yang melibatkan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara tersebut.
"Pertama, keterlambatan pemanggilan saksi. Misalnya Ikhsan Yunus, baru dipanggil KPK satu bulan setelah Operasi Tangkap Tangan (OTT) dilakukan," sebut Kurnia dalam diskusi daring yang dilakukan ICW, Senin (12/7/2021).
Baca juga: Sidang Korupsi Bansos, Saksi Ungkap Pemilik Perusahaan Penyuplai Barang ke Kemensos
Selain itu, Kurnia juga menyebut bahwa KPK tidak melakukan penyidikan pada pemanggilan Ketua Komisi III DPR Herman Hery.
KPK, lanjut Kurnia, justru melakukan penyelidikkan ulang, bukan memanggil dalam tataran penyidikkan.
"Semestinya dalam proses penyidikan perkara suap sudah bisa dipanggil pihak-pihak tersebut. Tidak mesti menunggu proses penyelidikan. Yang kita tidak tahu penyelidikan dalam rangka apa, dalam konteks apa, KPK membuka lembaran baru penanganan perkara korupsi bansos tersebut," jelas dia.
Kurnia juga mengatakan terdapat dugaan kebocoran informasi dalam penanganan korupsi paket bansos, sehingga beberapa penggeledahan yang dilakukan penyidik KPK tidak menemukan barang bukti apa pun.
Lalu, hilangnya sejumlah nama dalam dakwaan KPK, yang sebelumnya disebutkan dalam proses rekonstruksi perkara.
"Ini tentu janggal karena sebelum KPK melimpahkan berkas ke persidangan, kita tahu bahwa KPK sempat mengadakan rekonstruksi, yang mana rekonstruksi itu menjelaskan secara clear keterlibatan beberapa pihak," ungkap Kurnia.
"Satu di antaranya yang disebut namanya adalah Agustri Yogasmara. Dalam rekonstruksi ditulis dalam papan nama yang digunakan dia adalah operator Ikhsan Yunus, dan mendapatkan uang miliaran rupiah serta sepeda Brompton saat itu," sambungnya.
Kurnia menduga bahwa penghilangan sejumlah nama dalam surat dakwaan dilakukan oleh penentu kebijakan di KPK.
"Bisa direktur penyidikkan, deputi penindakan bahkan besar kemungkinan dilakukan sendiri oleh pimpinan KPK," ucapnya.
Kemudian adanya putusan pelanggaran kode etik dua penyidik KPK terkait perkara bansos.
Kurnia curiga bahwa hal ini merupakan bentuk perlawanan pada pihak-pihak didalam internal KPK yang turut serta melakukan pengungkapan perkara korupsi tersebut.
"Konsekuensi serius dalam putusan Dewas itu bisa digunakan oleh pelaku korupsi, untuk menyatakan penyidikkan KPK tidak sah. Itu bahaya," tutur dia.