Maka suatu hari saya mendatangi kantor PIN. Kebetulan yang bertugas saat itu adalah Mbak Ade Kiemas, adik bungsu Taufik Kiemas (almarhum), suami Megawati Soekarnoputri. Saya tanyakan kertas-kertas pesan telepon untuk saya kepada Mbak Ade Kiemas.
“Saya tidak begitu tahu, coba saya cari dulu ya, besok ke sini lagi ya,” jawab Mbak Ade.
Beberapa kali saya datang ke PIN, tapi para petugasnya selalu mengatakan “lupa kertas-kertas pesan telepon itu disimpan di mana". Sampai hari ini, 38 tahun lalu.
Tapi seperti kata Mas Harmoko, yang penting sudah “ngetop”. Ini sebuah kenangan kecil dari Harmoko.
Dalam perjalanan ke berbagai tempat di hampir 306 kabupaten saya tertarik dengan cerita kecilnya. Katanya, Harmoko pernah bertugas sebagai penarik layar untuk panggung ketoprak.
Dialog dalam ketoprak Jawa tidak berdasarkan teks tertulis, tapi langsung berdialog spontan dan improvisasi.
Suatu hari salah seorang pemainnya terlalu banyak bicara, sampai penonton mulai protes. Harmoko segera ambil inisiatif. Ditutup layar panggungnya. Sang Pemain itu marah keras.
Ketika Harmoko jadi Menteri Penerangan periode pertama, Laksamana (purnawirawan) Sudomo jadi Menteri Tenaga Kerja. Sebelumnya Sudomo terkenal sebagai Pangkokamtip (Panglima komando operasi pemulihan keamanan dan ketertiban), suatu jabatan yang angker ciptaan Presiden RI ke 2 Soeharto.
Saat itu pernah terjadi friksi kecil antara Harmoko dan Sudomo. Sudomo menginginkan dibentuk serikat buruh atau serikat sekerja di dalam perusahaan-perusahaan pers. Jadi perlu juga ada serikat buruh wartawan.
Sementara Harmoko tidak menginginkan ada serikat buruh pers/ wartawan. Alasannya, wartawan adalah profesi bukan buruh. Terjadi polemik di berbagai surat kabar dan media televisi dan radio.
Seperti kebiasaanya ketika masih menjadi Pangkomkatib, Sudomo mendatangi kantor Deppen, kantor Harmoko. Pertemuan terbuka di depan wartawan.
Sudomo yang membuka dialog dengan Harmoko. Bicara panjang lebar. Menjawab uraian Sudomo yang panjang itu, Harmoko memberi jawaban (ini yang paling saya ingat),
“Soal pers dan dunia wartawan itu, saya sangat tahu sampai dalam isi perut mereka.”
Peretemuan pun usai. Semua tertawa, Sudomo ikut tertawa dan pertemuan selesai. Tidak ada serikat buruh/ serikat pekerja pers.
Sebelum meninggalkan Deppen saat itu, Harmoko sempat tersenyum dan berkata pada saya, “Dik Osdar pasti setuju pada saya ya.”