HARMOKO meninggal dunia pada Minggu (4/7/2021) di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Pemulasaraannya dilakukan dengan protokol Covid-19. Lalu, siapakah Harmoko?
Baca juga: Mantan Menteri Penerangan Harmoko Meninggal Dunia
"Menurut petunjuk Bapak Presiden...." Frasa itu adalah kalimat pembuka yang dihapal betul oleh generasi 80-90-an, yang lekat dengan sosok ini. Setiap kali wajah Harmoko muncul di layar kaca, frasa itu jadi pembuka.
Yang dia umumkan mulai dari harga cabe keriting sampai berita penting kenegaraan. Betul, pada suatu masa dia adalah Menteri Penerangan Indonesia.
Sepanjang hidupnya, Harmoko hadir dalam banyak peran. Wartawan, adalah satu jejak Harmoko yang masih membekas. Salah satu peninggalannya adalah surat kabar Pos Kota yang berbasis di Jakarta.
Baca juga: Profil Harmoko, dari Wartawan Penggagas Pos Kota hingga Menteri Penerangan Era Soeharto
Di era koran masih menjadi juara, Pos Kota adalah rujukan orang-orang di Ibu Kota untuk mencari iklan barang, tukang pijit, sampai lowongan pekerjaan. Ayo, mengaku saja yang pada masa-masa itu pusing tujuh keliling mencari lowongan kerja....
Meskipun, di dunia jurnalistik, media ini masuk kelompok "koran kuning". Bukan warna kertasnya kuning juga. Tak berarti pula ini koran berafiliasi ke partai politik yang identik dengan warna kuning, meski Harmoko pernah pula menjadi ketua umum partai itu pada akhirnya.
Harian Kompas edisi 17 April 1988 mengupas soal koran kuning. Kerja jurnalistik wartawan Pos Kota jadi cerita pembuka.
Secara ringkas, definisi yang diberikan untuk koran kuning adalah media massa dengan dominasi konten tentang kekerasan, kejahatan, seks, dan atau berita sensasional lainnya.
Mungkin kalau istilah itu baru muncul belakangan, namanya juga bukan koran kuning. Media kuning, barangkali?
Sebentar. Jangan langsung menghakimi pula. Sebab, sosiolog saja menyebut fenomena media massa seperti itu punya korelasi erat dengan kehidupan kota besar.
Terlebih lagi, pada masanya, Pos Kota terbukti pernah menjadi koran dengan oplah terbanyak di Jakarta.
Ini terjadi karena penyajian konten yang menyolok, dengan tipografi yang memberi tekanan pada kata-kata tertentu, serta penuh foto sekalipun vulgar, diduga menjadi sebagian jawaban bagi orang-orang kota yang cenderung merasa sepi di tengah keramaian dan terhisap oleh rutinitas pekat kehidupan.
Tekanan dan ketegangan hidup di kota besar yang justru mendatangkan sunyi di tengah keramaian itu pun disebut sebagai alasan kebutuhan atas segala sesuatu yang serba spontan, hangat, dan jujur. Sekalipun, sekali lagi, suka vulgar dan kebablasan juga di sana-sini.
Kembali ke Harmoko, yang membidani kelahiran koran ini, pengemasan Pos Kota dia bilang bukanlah wujud ketidakbecusan kerja jurnalistik.
Dia bilang, Pos Kota sejak awal memang membidik pasar rakyat kecil. Alasannya, kelas atas sudah dilayani oleh media semacam harian Kompas.