Lengser keprabon
Sebelum Sidang Paripurna MPR digelar, suasana politik di Tanah Air sudah cukup panas.
Sepanjang 1997 pencalonan Soeharto sebagai Presiden RI yang ketujuh kali menjadi sorotan publik.
Apalagi, sebelumnya Soeharto sempat mengungkapkan keinginannya untuk lengser keprabon, madeg pandito.
Baca juga: Harmoko Akan Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata
Dalam peringatan HUT Partai Golkar pada Oktober 1997, partai berlambang beringin itu menyatakan rencana mereka untuk kembali mencalonkan Soeharto sebagai presiden. Namun, Soeharto meminta agar rencana itu diteliti lagi.
Dalam sambutannya sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar, Pak Harto menyinggung ungkapan dalam cerita pewayangan "Lengser Keprabon".
Mantan Panglima Kostrad itu mengatakan, bukan masalah baginya bila rakyat sudah tidak memercayainya lagi sebagai pemimpin.
"Saya akan menempatkan diri sebagaimana dalam falsafah pewayangan yaitu lengser keprabon madeg pandito (pensiun menjadi pemimpin akan menjadi begawan)," kata Soeharto.
Dari situ, sebagian publik menilai bahwa Pak Harto enggan menjadi presiden lagi.
Baca juga: Kenang Sosok Harmoko, Bambang Soesatyo: Guru dan Panutan Kader Golkar
Di saat bersamaan, sejumlah tokoh menyerukan perlunya suksesi kepemimpinan nasional pasca-Presiden Soeharto. Salah satu tokoh yang vokal yakni Amien Rais.
Pada periode itu pula, kritik-kritik tajam mengarah ke pemerintah dan Presiden Soeharto. Penyebabnya tidak lain krisis ekonomi 1998.
Harga kebutuhan pokok melambung tinggi selama krisis ekonomi. Bank berguguran hingga membuat masyarakat berbondong-bondong menarik dana yang semula mereka simpan.
Situasi diperparah dengan anjloknya nilai tukar rupiah hingga Rp 16.000 per dollar AS. Devisa negara tergerus hanya tinggal 20 miliar dollar.
Dalam waktu yang bersamaan, utang pemerintah mencapai 130 miliar dollar AS.
Baca juga: Profil Harmoko, dari Wartawan Penggagas Pos Kota hingga Menteri Penerangan Era Soeharto
Menyikapi situasi tersebut, Soeharto memutuskan untuk bekerja sama dengan International Monetary Fund (IMF). Namun, langkah itu justru menyulut amarah publik.