JAKARTA, KOMPAS.com - Ekonom Faisal Basri menilai, kebijakan lockdown seharusnya diterapkan pemerintah pada awal pandemi Covid-19. Bahkan hal tersebut sudah diingatkan oleh para ahli kesehatan untuk menekan lonjakan kasus.
"Pesannya bahwa penyelesaian kesehatan ini adalah prasyarat untuk memulihkan ekonomi," ujar Fasial, ketika diwawancarai wartawan senior Harian Kompas Budiman Tanuredjo, dikutip dari Kompas.id, Senin (28/6/2021).
Baca juga: Faisal Basri Nilai Lockdown Dua Minggu Dapat Bantu Pulihkan Ekonomi RI
Faisal menilai, pemerintah pusat memiliki anggaran yang cukup untuk melakukan lockdown. dalam rangka mengendalikan penyebaran virus corona penyebab Covid-19.
Jika melihat struktur total penerimaan negara, kata dia, penerimaan pemerintah pusat pada 2019 mencapai Rp 2.000 triliun. Sedangkan, total penerimaan 34 provinsi sekitar Rp 200 triliun.
Menurut Faisal, pemerintah pusat memang memiliki tanggung jawab untuk menanggung pengeluaran biaya lockdown. Sebab, pemerintah daerah tidak memiliki cukup dana.
"Tidak mungkin pemda bisa membiayai karena memang uangnya tidak ada. Keuangan negara itu terpusat sekali. Jadi menurut saya omong kosong kalau tidak ada uang (untuk melakukan lockdown)," ucap Faisal.
Faisal menekankan, pemerintah memiliki kemampuan untuk menerapkan lockdown. Lantas ia menyinggung soal wacana pengadaan senjata yang mencapai Rp 1.700 triliun, pembangunan ibu kota baru, hingga perjalanan dinas yang tetap dilakukan.
Bahkan, Faisal mengatakan, pemerintah dapat meminta bantuan Bank Dunia maupun Economic Development Board (EDB) apabila kekurangan dana.
"Semakin cepat kita menangani virus, maka semakin cepat kita memulihkan ekonomi. Itulah benefit yang kita peroleh," kata Faisal.
Baca juga: Jaga Kewarasan di Tengah Pandemi, Saatnya Pemerintah Tarik Rem Darurat
Menurut Faisal, jika kebijakan yang saat ini dilakukan, yakni penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro terus dilakukan, justru ongkosnya menjadi jauh lebih banyak.
Apalagi, kata dia, tidak ada yang tahu pandemi Covid-19 ini akan berakhir.
"Pemerintah berharap, utamanya Menko Maritim Pak Luhut, dua minggu (PPKM mikro efektif), kalau pakai teori kesehatan, epidemiolog itu hampir dipastikan tidak bisa kalau dengan mikro ini. Jadi ongkosnya jauh akan lebih banyak," kata Faisal.
Faisal berpandangan, penerapan lockdown selama dua pekan dapat membantu pemulihan ekonomi.
Dalam penerapannya, aktivitas ekonomi tidak berhenti total. Ia mengatakan, aktivitas di sektor strategis masih dapat berjalan.
Hal tersebut perlu didukung dengan mobilisasi tim Palang Merah Indonesia (PMI), pemerintah daerah, dan lainnya untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Sementara, kata Faisal, masyarakat kelas menengah ke atas tetap bisa mengurus dirinya sendiri walaupun lockdown dilakukan.
Dengan demikian, maka biaya yang ditanggung pemerintah pun tidak akan terlalu besar.
Tarik rem darurat
Di tengah lonjakan kasus, Presiden Joko Widodo tetap memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berskala mikro.
Menurut Jokowi, pemerintah telah menerima masukan soal pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan lockdown.
Namun ia menekankan, PPKM skala mikro paling tepat karena tidak mematikan ekonomi masyarakat.
Jokowi mengatakan, kebijakan tersebut memperhitungkan kondisi ekonomi, kondisi sosial, kondisi politik, serta pengalaman dari negara lain.
Baca juga: Rekor Kasus Baru Covid-19, Anggota DPR: Bukti PPKM Mikro Gagal
Kendati demikian, kebijakan Jokowi itu dinilai tidak akan efektif dalam menekan lonjakan kasus.
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi FEB UGM dan inisiator Sambatan Jogja (Sonjo), Rimawan Pradiptyo berpandangan, pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang lebih tegas yakni PSBB atau lockdown.
Ia menegaskan, pemerintah harus segera menarik rem darurat untuk menghindari korban yang lebih banyak.
“Sekarang saatnya pemerintah menarik rem darurat untuk menghindarkan Indonesia dari tragedi kemanusiaan,” kata Rimawan, dalam keterangan tertulis, Jumat (26/6/2021).
Rimawan mengingatkan, jangan sampai penanganan Covid-19 melupakan aspek kemanusiaan sehingga menimbulkan kejadian seperti di India.
Ia menyayangkan masih munculnya perdebatan soal sektor mana yang harus diprioritaskan, kesehatan atau ekonomi. Padahal, pandemi ini telah berlangsung selama 16 bulan.
“Meski para ekonom menggaungkan bahwa kesehatan adalah panglima di masa pandemi, ironisnya kelompok lain cenderung mementingkan ekonomi dibandingkan kesehatan,” ucap dia.
Baca juga: Pertimbangan Jokowi Pilih PPKM Mikro di Tengah Lonjakan Kasus Covid-19
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.