JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri periode 1998-1999 Ginandjar Kartasasmita mengatakan, Indonesia harus mengenang jasa Presiden ke-3 RI almarhum BJ Habibie.
Tak hanya mengenang jasa di bidang teknologi, Indonesia juga harus mengenang jasa Habibie dalam hal menyelesaikan krisis ekonomi tahun 1998.
"Justru jasa yang selamanya namanya akan diingat dan sangat prinsipil dalam perkembangan bangsa kita adalah menyelesaikan krisis ekonomi tahun 1998," kata Ginandjar dalam diskusi virtual Peringatan 85 Tahun Almarhum BJ Habibie: Masa Depan Demokrasi & Tekno-Ekonomi Indonesia di tengah Pandemi, Jumat (25/6/2021).
Menurut Ginandjar, jika krisis ekonomi 1998 itu tak diatasi, maka Indonesia tidak akan berada pada masa sekarang.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Hari Kelahiran Bacharuddin Jusuf Habibie
Tanpa mengucilkan pemimpin negara yang lain, tetapi hal itu yang setidaknya dirasakan dan dinilai Ginandjar selama bekerja dalam pemerintahan Habibie.
"Bagi mereka yang bukan teknolog, bagi mereka yang bukan ekonom, peristiwa itu dan upaya Pak Habibie yang berhasil mengatasinya itu akan selalu teringat di dalam sejarah," ucapnya.
Ginandjar lantas mengenang saat-saat dirinya berada di pemerintahan Habibie usai Orde Baru yang dipimpin Presiden ke-2 RI Soeharto runtuh.
Ia menyebutkan, Presiden Habibie memimpin pemerintahan dengan warisan kondisi negara yang carut marut akibat krisis moneter 1997 dan krisis ekonomi 1998.
"Prof Habibie diwarisi sebagai presiden, keadaan negara yang sangat morat marit. Di ujung kehancuran, secara ekonomi maupun secara politik," ucapnya.
"Di mana empat orang mahasiswa menjadi korban. Dan terus buntut-buntutnya itu berdampak. Jadi penanganan krisis 98 itu sangatlah utama dalam perjalanan kita sebagai bangsa," jelasnya.
Baca juga: Perjalanan Panjang MRT Jakarta, Dicetuskan Habibie dan Dieksekusi Jokowi-Ahok
Terkait krisis ekonomi, Habibie diwarisi keadaan ekonomi yang sangat mengkhawatirkan mana kala nilai tukar rupiah turun dari Rp 2.400/dollar AS pada Juli 1997 menjadi Rp 16.000/dollar AS pada Juni 1998.
"Jadi bayangkan berapa persen itu penurunannya. Pertumbuhan yang selama 30 tahun Indonesia tumbuh rata-rata 7 persen selama masa Orde Baru. Pada 1998 lalu minus 13,6 persen. Inflasi 77,6 persen," ucapnya.
Kondisi ekonomi itu, lanjut dia, membuat situasi di sejumlah wilayah Indonesia terjadi kerusuhan.
Masyarakat tumpah ruah ke jalan dan tak bisa dikendalikan. Kemudian, transportasi pun juga terhenti dan banyak yang menjadi korban.
"Paling utama di ekonomi kita, industri kita berhenti bekerja. Jadi inilah warisan yang diterima Pak Habibie waktu itu," kata dia.