JAKARTA, KOMPAS.com – Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai, kepercayaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang rendah disebabkan karena faktor internal.
Berdasarkan hasil survei Cyrus Network, kepercayaan terhadap KPK paling rendah jika dibandingkan lembaga penegak hukum lainnya, yakni Polri, Mahkamah Agung (MA) dan Kejaksaan Agung.
“Kepercayaan publik pada KPK turun bukan karena adanya serangan dari pihak luar, tapi karena pengeroposan terjadi dari dalam,” ujar Zaenur kepada Kompas.com, Selasa (22/6/2021).
Baca juga: Survei: Kepercayaan Publik terhadap KPK Lebih Rendah dari Polri
Zaenur memaparkan beberapa faktor yang memengaruhi kepercayaan publik terhadap KPK. Pertama, penolakan kelompok masyarakat sipil terkait penunjukan Firli Bahuri menjadi Ketua KPK.
Penolakan itu muncul karena adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Firli selama menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.
Selain Firli, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar juga dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas). Lili diduga melakukan komunikasi dengan Wali Kota nonaktif Tanjungbalai, M Syahrial terkait penanganan perkara.
Faktor lainnya yakni revisi Undang-Undang tentang KPK yang dinilai melemahkan lembaga antikorupsi itu.
Baca juga: Survei LSI: Persepsi Publik terhadap Efektivitas Kinerja KPK Menurun
Zaenur berpandangan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK malah membatasi kinerja KPK.
Salah satu indikasinya, penurunan jumlah operasi tangkap tangan (OTT) di era kepemimpinan Firli Bahuri.
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), selama 2020, KPK baru melakukan tujuh OTT. Jumlah merosot tajam bila dibandingkan operasi serupa yang dilakukan KPK di era sebelumnya.
Pada 2016, misalnya, KPK berhasil melakukan 17 OTT. Sedangkan, pada 2017 dan 2018, jumlah OTT yang dilakukan KPK bertambah masing-masing 19 kali dan 30 kali.
Kemudian pada 2019, tercatat KPK melakukan 21 OTT.
“Akibat dari revisi UU KPK itu kinerja KPK turun drastis,” ungkap dia.
Baca juga: Survei LSI: Mayoritas Responden Tidak Puas Atas Kinerja KPK
Faktor ketiga, menurut Zaenur, dugaan tebang pilih dalam pengungkapan kasus. Ia menyoroti kasus suap yang menjerat mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dan politisi PDI-P Harun Masiku.
Hingga saat ini, Harun Masiku masih buron.
“Independensi kepemimpinan Firli diragukan dalam menangani perkara korupsi. Seperti kasus Harun Masiku, Firli seperti terlihat menghalang-halangi penyidik untuk menetapkan Harun sebagai tersangka, padahal kasus itu melibatkan banyak politisi yang belum tersentuh,” tuturnya.
Kemudian, polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam proses alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Menurut Zaenur, publik mengganggap TWK justru menjadi alat untuk menyingkirkan pegawai yang tengah menangani kasus besar.
“Karena TWK tidak diperintahkan oleh undang-undang tapi hanya diatur sendiri oleh pimpinan melalui Peraturan KPK sehingga membuat pegawai-pegawai terbaik dinonaktifkan,” kata Zaenur.
Baca juga: Tingkat Kepercayaan dan Jumlah OTT KPK Menurun, Ini Tanggapan Firli Bahuri
Hasil survei Cyrus Network menunjukkan, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri mencapai 86,2 persen, Mahkamah Agung (MA) 85,9 persen, Kejaksaan Agung 82,2 persen dan KPK 80,7 persen.
Survei dilakukan pada 28 Mei-1 Juni 2021 dengan 1.230 responden yang tersebar secara proporsional pada 123 desa/kelurahan terpilih di 34 Provinsi.
Survei dilakukan secara tatap muka dengan menggunakan metode multistage random sampling dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error sebesar 2,85 persen.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.