Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemangkasan Hukuman Pinangki: Dinilai Janggal dan Lukai Upaya Pemberantasan Korupsi

Kompas.com - 16/06/2021, 08:36 WIB
Tsarina Maharani,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memangkas vonis hukuman Pinangki Sirna Malasari menuai kritik dari banyak pihak.

Pemangkasan hukuman Pinangki dari semula 10 tahun penjara menjadi empat tahun penjara dinilai melukai upaya pemberantasan korupsi di tanah air.

Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan hukuman terhadap Pinangki semestinya diperberat, mengingat statusnya sebagai penegak hukum.

Pinangki berprofesi sebagai jaksa dan menjabat Kepala Subbagian Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan dalam perkara pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung untuk terpidana kasus Bank Bali, Djoko S Tjandra.

Baca juga: Pertimbangan Hakim dalam Putusan Banding Pinangki Dinilai Tidak Adil

"Ini jelas melukai rasa keadilan dan upaya pemberantasan korupsi," kata Charles, Selasa (15/6/2021).

Diketahui, pada Februari lalu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta kepada Pinangki.

Sebagai upaya hukum lanjutan, Pinangki mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Majelis hakim pun mengabulkan permohonan banding itu dan memangkas hukuman Pinangki selama 10 tahun penjara menjadi empat tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider enam bulan penjara.

Charles menjelaskan, pemberatan hukuman bagi aparat penegak hukum yang terlibat dalam perkara pidana diatur dalam KUHP.

Menurutnya, tindakan Pinangki merupakan bentuk praktik mafia hukum karena secara sengaja terlibat aktif dalam perkara yang melibatkan Djoko Tjandra.

"Perilaku yang bersangkutan dapat dikategorikan sebagai bentuk dari mafia hukum, di mana selaku aparat penegak hukum yang bersangkutan justru main perkara dan aktif sebagai pelaku dan bukanlah pihak yang tanpa sengaja atau dengan paksaan terlibat," ujar dia.

Selain itu, Charles menyoroti pertimbangan majelis hakim dalam meringankan hukuman bagi Pinangki. Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mempertimbangkan sejumlah hal dalam putusan banding kasus Pinangki. Salah satunya, karena Pinangki dianggap sudah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya.

Hakim juga mempertimbangkan Pinangki adalah seorang ibu dari anak berusia empat tahun sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan.

Charles berpendapat, pertimbangan hakim soal kondisi Pinangki sebagai seorang ibu dari anak balita tidak adil. Sebab, penerapan pertimbangan tersebut tidak melulu berlaku bagi terdakwa perempuan dalam kasus-kasus lain.

"Ini kan tidak adil pada kasus-kasus lain," ucapnya.

Di sisi lain, lanjut Charles, Pinangki merupakan pelaku tindak pidana korupsi dan bukan seorang korban.

Ia berpandangan, negara dapat turut bertanggung jawab dalam mengurus sang anak selama Pinangki menjalani hukuman.

Baca juga: Pemangkasan Hukuman Pinangki Dinilai Kurangi Efek Jera bagi Koruptor

"Kalau dia memang punya anak kecil, negara kan juga bertanggung jawab untuk itu. Dan tanggung jawab pada anak kan bukan hanya pada ibu," katanya.

Charles mengatakan, pengurangan hukuman Pinangki menjadi empat tahun bukan solusi. Sebab, sang anak akan tetap ditinggalkan oleh ibunya.

Charles pun mengatakan, Pinangki semestinya mengukur risiko yang akan ia dapatkan ketika terlibat dalam tindak pidana korupsi.

Dia menegaskan sangat tidak adil jika kini negara dan publik harus berkompromi dengan situasi Pinangki sebagai seorang perempuan dan ibu.

"Apakah pada saat dia melakukan perbuatan dia tidak memikirkan dampak bagi anak dan keluarga? Begitu mendapatkan hukuman, negara dan publik dipaksa harus mengkompromikan kondisi yang bersangkutan dan ini jelas tidak adil," ujarnya.

Dinilai janggal

Anggota divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana meminta Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawas Mahkamah Agung menelusuri kejanggalan keputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Menurut dia, putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memangkas hukuman Pinangki hingga lebih dari separuhnya benar-benar keterlaluan.

Senada dengan Charles, Kurnia mengatakan seharusnya hukuman terhadap Pinangki diperberat, karena ia merupakan seorang jaksa. Selain itu, lanjut Kurnia, Pinangki melakukan tiga kejahatan sekaligus, yaitu korupsi suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat.

"ICW merekomendasikan agar Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung menelusuri kejanggalan di balik putusan tersebut," kata dia.

Baca juga: Pusako: Hukuman Jaksa Pinangki Semestinya Diperberat, Bukan Dipangkas

Terkait hal ini, jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menyatakan pihaknya belum bisa bersikap. Sebab, mereka belum mendapatkan salinan putusan dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

"Kami belum menerima putusan PT," kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Riono Budi Santoso, dikutip dari Tribunnews, Selasa (15/6/2021).

Riono mengatakan, pihaknya nanti akan mempelajari terlebih dahulu putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut. Selanjutnya, jaksa menentukan apakah akan mengajukan kasasi di tingkat Mahkamah Agung atau tidak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pendiri Mustika Ratu Mooryati Soedibyo Meninggal Dunia di Usia 96 Tahun

Pendiri Mustika Ratu Mooryati Soedibyo Meninggal Dunia di Usia 96 Tahun

Nasional
Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada, KPU Siap Sempurnakan Sesuai Saran MK

Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada, KPU Siap Sempurnakan Sesuai Saran MK

Nasional
Bongkar Pemerasan SYL, Jaksa KPK Bakal Hadirkan Sespri Sekjen Kementan di Pengadilan

Bongkar Pemerasan SYL, Jaksa KPK Bakal Hadirkan Sespri Sekjen Kementan di Pengadilan

Nasional
MK Minta Sirekap Dikembangkan Lembaga Mandiri, KPU Singgung Kemandirian Penyelenggara Pemilu

MK Minta Sirekap Dikembangkan Lembaga Mandiri, KPU Singgung Kemandirian Penyelenggara Pemilu

Nasional
Pelajaran Berharga Polemik Politisasi Bansos dari Sidang MK

Pelajaran Berharga Polemik Politisasi Bansos dari Sidang MK

Nasional
Prabowo-Gibran Akan Pidato Usai Ditetapkan KPU Hari Ini

Prabowo-Gibran Akan Pidato Usai Ditetapkan KPU Hari Ini

Nasional
Penetapan Prabowo-Gibran Hari Ini, Ganjar: Saya Belum Dapat Undangan

Penetapan Prabowo-Gibran Hari Ini, Ganjar: Saya Belum Dapat Undangan

Nasional
Prabowo-Gibran Sah Jadi Presiden dan Wapres Terpilih, Bakal Dilantik 20 Oktober 2024

Prabowo-Gibran Sah Jadi Presiden dan Wapres Terpilih, Bakal Dilantik 20 Oktober 2024

Nasional
[POPULER NASIONAL] Para Ketum Parpol Kumpul di Rumah Mega | 'Dissenting Opinion' Putusan Sengketa Pilpres Jadi Sejarah

[POPULER NASIONAL] Para Ketum Parpol Kumpul di Rumah Mega | "Dissenting Opinion" Putusan Sengketa Pilpres Jadi Sejarah

Nasional
Sejarah Hari Bhakti Pemasyarakatan 27 April

Sejarah Hari Bhakti Pemasyarakatan 27 April

Nasional
Tanggal 26 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 26 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Nasional
Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Nasional
Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Nasional
PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com