JAKARTA, KOMPAS.com - Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memangkas vonis hukuman Pinangki Sirna Malasari menuai kritik dari banyak pihak.
Pemangkasan hukuman Pinangki dari semula 10 tahun penjara menjadi empat tahun penjara dinilai melukai upaya pemberantasan korupsi di tanah air.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan hukuman terhadap Pinangki semestinya diperberat, mengingat statusnya sebagai penegak hukum.
Pinangki berprofesi sebagai jaksa dan menjabat Kepala Subbagian Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan dalam perkara pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung untuk terpidana kasus Bank Bali, Djoko S Tjandra.
Baca juga: Pertimbangan Hakim dalam Putusan Banding Pinangki Dinilai Tidak Adil
"Ini jelas melukai rasa keadilan dan upaya pemberantasan korupsi," kata Charles, Selasa (15/6/2021).
Diketahui, pada Februari lalu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta kepada Pinangki.
Sebagai upaya hukum lanjutan, Pinangki mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Majelis hakim pun mengabulkan permohonan banding itu dan memangkas hukuman Pinangki selama 10 tahun penjara menjadi empat tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider enam bulan penjara.
Charles menjelaskan, pemberatan hukuman bagi aparat penegak hukum yang terlibat dalam perkara pidana diatur dalam KUHP.
Menurutnya, tindakan Pinangki merupakan bentuk praktik mafia hukum karena secara sengaja terlibat aktif dalam perkara yang melibatkan Djoko Tjandra.
"Perilaku yang bersangkutan dapat dikategorikan sebagai bentuk dari mafia hukum, di mana selaku aparat penegak hukum yang bersangkutan justru main perkara dan aktif sebagai pelaku dan bukanlah pihak yang tanpa sengaja atau dengan paksaan terlibat," ujar dia.
Selain itu, Charles menyoroti pertimbangan majelis hakim dalam meringankan hukuman bagi Pinangki. Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mempertimbangkan sejumlah hal dalam putusan banding kasus Pinangki. Salah satunya, karena Pinangki dianggap sudah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya.
Hakim juga mempertimbangkan Pinangki adalah seorang ibu dari anak berusia empat tahun sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan.
Charles berpendapat, pertimbangan hakim soal kondisi Pinangki sebagai seorang ibu dari anak balita tidak adil. Sebab, penerapan pertimbangan tersebut tidak melulu berlaku bagi terdakwa perempuan dalam kasus-kasus lain.
"Ini kan tidak adil pada kasus-kasus lain," ucapnya.
Di sisi lain, lanjut Charles, Pinangki merupakan pelaku tindak pidana korupsi dan bukan seorang korban.