JAKARTA, KOMPAS.com - Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin menganggap penyelesaian polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) terhadap pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat ditempuh melalui laporan ke kepolisian.
Sebab, ia mendengar soal pegawai KPK yang merasa dirugikan harkat dan martabatnya ketika mengikuti proses alih status menjadi aparatur sipil negara (ASN) melalui TWK.
"Ada beberapa orang yang pada waktu tes wawasan kebangsaan itu ada pertanyaan-pertanyaan yang katanya menjatuhkan harkat dan martabatnya," kata Ngabalin, dalam diskusi daring yang digelar Selasa (15/6/2021).
"Saya, baik atas nama pribadi maupun atas nama Kantor Staf Presiden, meminta dengan segala rasa hormat untuk laporkan itu, untuk segera diproses," tuturnya.
Baca juga: Kejanggalan Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK yang Jadi Sorotan...
Menurut Ngabalin, jika pihak-pihak yang merasa dirugikan itu tak melapor, akan timbul prasangka buruk terhadap proses TWK.
Ia tidak ingin ruang publik terus menerus gaduh karena kecurigaan yang ditudingkan masyarakat.
"Kalau Anda tidak menempuh jalur hukum, maka itu pasti ada prasangka, ada prejudice," ujar Ngabalin.
Ngabalin mencontohkan peristiwa ketika ia pulang dari kunjungan kerja ke Honolulu, Hawai, Amerika Serikat (AS), akhir November tahun lalu.
Saat itu, Ngabalin ikut dalam pesawat yang ditumpangi rombongan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Baca juga: Pemberhentian 51 Pegawai KPK dan Pembangkangan terhadap Presiden
Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, KPK menangkap Edhy terkait dugaan korupsi izin ekspor benih lobster.
Akibat kejadian itu, nama Ngabalin sempat dikait-kaitkan dengan dugaan kasus korupsi yang menjerat Edhy.
Hal itu pun dinilai Ngabalin mencederai nama baik serta harkat dan martabatnya. Oleh karenanya, ia memutuskan untuk melapor ke polisi.
"Saya minta kepada kawan-kawan supaya ini harus dilakukan. Kalau kita dirugikan, harus dilaporkan," katanya.
Ngabalin menambahkan, Presiden Joko Widodo memang telah menyampaikan bahwa TWK tidak serta merta menjadi dasar pemberhentian 75 pegawai KPK yang tak lolos.
Namun demikian, dalam proses TWK sendiri, ada prosedur tes yang berkaitan dengan integritas dan moralitas. Hal itu, kata Ngabalin, menjadi urusan internal KPK yang tak bisa dicampuri oleh pemerintah.
"Ketika ini sudah masuk dalam urusan internal tentu kami tidak bisa mengomentari lebih banyak, baik dari kantor presiden seperti saya, maupun dari pemerintah," kata dia.
Baca juga: Novel Baswedan Yakin Ada Rencana Besar di Balik TWK KPK
Sebelumnya, 75 pegawai KPK dinyatakan tidak lolos TWK.
Setelah dilakukan pembahasan antara pimpinan KPK, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), serta Badan Kepegawaian Negara (BKN), diputuskan bahwa 51 dari 75 pegawai yang tidak lolos TWK bakal diberhentikan.
Sementara, 24 pegawai lainnya diwajibkan mengikuti pelatihan dan pendidikan wawasan kebangsaan.
Kepala BKN Bima Haria Wibisana memaparkan tiga aspek dalam penilaian asesmen TWK. Ketiga aspek itu yakni aspek pribadi, pengaruh, dan PUNP (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah yang sah). Menurut Bima, 51 pegawai KPK tersebut mendapat penilaian negatif pada ketiga aspek.
Baca juga: Guru Besar Beri Masukan ke Komnas HAM soal Polemik TWK Pegawai KPK
Keputusan pemberhentian pegawai KPK itu sontak mendapat kritik dari masyarakat sipil. Ketidakjelasan indikator atau tolok ukur TWK dikhawatirkan akan menimbulkan stigmatisasi terhadap pegawai yang tak lolos.
Di sisi lain, ada potensi menguatnya kembali narasi soal radikalisasi dan Taliban di tubuh lembaga antirasuah itu.
Kejanggalan dalam TWK ini pernah diungkapkan pegawai KPK Benydictus Siumlala. Misalnya pertanyaan mengenai pandangan pegawai terhadap ras tertentu, LGBT, pernikahan hingga persoalan hukum Rizieq Shihab.
Belakangan, pegawai KPK yang tak lolos melaporkan dugaan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan TWK ke Komnas HAM.
Mereka juga melaporkan pimpinan KPK ke Ombudsman RI atas dugaan malaadministrasi dalam penyusunan peraturan yang menjadi dasar pelaksanaan TWK.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.