JAKARTA, KOMPAS.com - Sosialisasi Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang digelar Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) di Jakarta, Senin (14/6/2021), menuai kritik.
Aliansi Nasional Reformasi RKUHP menilai penyelenggaraan sosialisasi ke-12 tersebut tak memberikan porsi yang sepadan bagi masyarakat sipil.
"Pemerintah tetap tidak melibatkan baik dari masyarakat sipil atau pun akademisi dari bidang ilmu dan perspektif berbeda untuk memberikan masukan pada RKUHP pada porsi yang berimbang dengan pemerintah dan DPR," ujar Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur, mewakili aliansi, dalam keterangan tertulis, Senin siang.
Isnur memandang agenda tersebut sebagai sosialisasi satu arah, bukan diskusi substansi yang lebih genting agar RKUHP tidak lagi mendapatkan penolakan dari masyarakat.
Baca juga: RKUHP Berpotensi Berangus Kebebasan Sipil, LP3ES: Ciri Kemunduran Demokrasi
Dalam agenda ini, beberapa anggota aliansi nasional reformasi KUHP diundang. Tetapi, porsi masukan hanya dialokasikan 1 jam.
"Itu pun di sesi tanya jawab, tidak seimbang dengan materi substansi yang melibatkan 6 pembicara dari tim perumus pemerintah dan DPR dengan alokasi waktu selama 3 jam lebih," kata Isnur.
Pihaknya juga menyesalkan bahwa tidak semua kalangan masyarakat sipil yang berpotensi terdampak RKUHP diundang pemerintah.
Mulai dari kelompok penyandang disabilitas, kelompok advokasi kesehatan reproduksi, hingga kelompok rentan.
Selain itu, Isnur menyoroti ketidakjelasan proses dan draf RKUHP yang akan dibahas.
Menurutnya, pemerintah dan DPR tidak jelas memberikan ketegasan mengenai draf yang diedarkan dalam sosialisasi RKUHP di Manado beberapa waktu lalu.
Baca juga: Pro dan Kontra di DPR soal Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP
Ia mempertanyakan apakah sosialisasi di Manado menggunakan draf terbaru atau hanya sosialisasi draf lama yang ditolak masyarakat pada September 2019.
Jika ternyata draf terbaru, pihaknya tidak melihat adanya perubahan sedikit pun dalam draf tersebut.
Mengingat, draf yang diedarkan masih dalam bentuk draf versi September 2019 yang ditolak oleh masyarakat.
Ia menambahkan, publik berhak mengetahui proses kajian dan pembaruan RKUHP selama hampir 2 tahun ini.
"Apabila tidak ada perubahan, maka sosialisasi ini bukan mendengarkan masukan publik pasca-penolakan RKUHP September 2019, yang bahkan sampai memakan korban jiwa dan munculnya pernyataan presiden untuk menunda dan mengkaji ulang RKUHP," imbuh dia.
Baca juga: Soal Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP, Yasonna: Kebebasan Sebebas-bebasnya Itu Anarki