JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mengatakan, pasal penghinaan presiden yang tercantum pada draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) tidak mengurangi kebebasan berpendapat masyarakat.
Sahroni berpendapat, perbuatan menghina seseorang merupakan sebuah perilaku yang salah dan patut diatur secara hukum.
"Yang dilarang itu adalah penghinaan, karena menghina kepada siapa pun tentu dilarang. Siapa pun yang melakukan penghinaan secara langsung ataupun terbuka melalui media sosial jelas perilaku yang salah dan patut ada payung hukumnya," kata Sahroni dalam keterangan tertulis, Rabu (9/6/2021).
Baca juga: Politisi PPP Nilai Pasal Penghinaan Presiden Bisa Dipertahankan, tetapi Jangan Disalahgunakan
Sahroni menuturkan, masyarakat tetap diperbolehkan mengkritik kinerja pemerintah seluas-luasnya asalkan tidak menyinggung suku, agama, ras, dan antar golongan, fisik, atau tidak sesuai fakta.
"Siapa pun tetap bisa menyampaikan kritikannya terhadap pemerintah karena kritikan itu sikapnya membangun. Jadi itu bebas saja, selama tidak masuk ke ranah penghinaan apalagi sudah bersifat hoaks," kata dia.
Politikus Partai Nasdem itu pun berpendapat, pasal penghinaan tersebut semestinya dapat diterapkan untuk semua lapisan masyarakat, bukan hanya pada presiden.
"Kalau saya sih maunya pasal ini nanti tidak hanya diterapkan untuk Presiden ataupun DPR saja, tapi diterapkan untuk semua warga negara. Jadi jika ada yang mendapat perilaku penghinaan sudah ada aturannya yang jelas," ujar dia.
Baca juga: Soal Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP, Yasonna: Kebebasan Sebebas-bebasnya Itu Anarki
Dalam draf RKUHP yang diterima Kompas.com, ketentuan pidana mengenai penghinaan presiden tercantum pada pasal 218 ayat (1).
"Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," demikian bunyi pasal dan ayat tersebut.
Selain itu, Pasal 353 RKUHP juga mengatur soal ancaman hukuman pidana bagi seseorang yang menghina kekuasaan umum atau lembaga negara.
"(1) Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina," demikian bunyi Pasal 353 RKUHP.
Baca juga: Soal Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP, KSP Jamin Bukan untuk Pengkritik
Ancaman pidana itu dapat lebih berat apabila dilakukan melalui sarana teknologi informasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 354 RKUHP.
"Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III," demikian bunyi Pasal 354 RKUHP.
Namun, draf RKUHP tersebut merupakan draf yang disepakati oleh pemerintah dan DPR pada September 2019 yang akhirnya batal disahkan akibat masifnya penolakan masyarakat.
"Itu draf kesepakatan tahun 2019 yang batal disahkan," kata Kepala Bagian Humas Kemenkumham Tubagus Erif, saat dihubungi, Senin (7/6/2021).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.