Terkait hal tersebut, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menyebutkan bahwa sudah seharusnya Firli dkk memenuhi panggilan Komnas HAM.
Jika pemanggilan itu masih juga tak diindahkan, Komnas HAM harus meminta pengadilan melakukan panggilan paksa kepada pimpinan KPK.
"Panggilan paksa itu polisi yang melakukannya atas perintah pengadilan. Komnas HAM sesuai dengan perintah undang-undang harus melakukan itu," kata Feri kepada Kompas.com, Selasa (8/6/2021).
Baca juga: Komnas HAM Telah Periksa 19 Pegawai KPK Terkait Dugaan Pelanggaran HAM dalam TWK
Feri menilai, ketidakhadiran Firli dkk untuk memenuhi panggilan Komnas HAM mengindikasikan upaya perlawanan terhadap hukum.
Langkah itu bisa disebut sebagai tindakan tercela. Sebagaimana bunyi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, pimpinan lembaga antirasuah yang melakukan tindakan tercela sangat mungkin diberhentikan dari jabatannya.
Pasal 32 Ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan karena melakukan perbuatan tercela.
"Proses perlawanan terhadap hukum itu bisa saja dalam konteks lembaga seperti KPK merupakan perbuatan tercela. Di dalam UU KPK melakukan perbuatan tercela karena dia pimpinan dapat menjadi alasan pemberhentiannya," ujar Feri.
Baca juga: Mereka yang Menjaga Idealisme dan Nilai tetapi Disingkirkan atas Nama TWK...
Menurut Feri, sikap yang ditunjukkan pimpinan KPK dalam proses alih status pegawai KPK jelas merupakan pelanggaran hukum terbuka.
Ia menyebut hal itu sebagai pencemaran institusi hukum. Feri khawatir bahwa proses ini akan melemahkan integritas para pemberantas korupsi.
"Bagi saya, ini betul-betul proses pelanggaran hukum yang sudah sangat terbuka dan tidak malu-malu lagi," kata Feri.
"Ini akan menyebabkan penegak hukum, terutama yang ada di KPK, mudah dirusak karena pimpinan tidak memberikan suri tauladan," tuturnya.
Baca juga: ICW: Pimpinan KPK Takut, Tak Mampu Tutupi Skandal TWK