“Jelas itu cermin keangkuhan,” kata Busyro saat dihubungi, Selasa.
Bagi Busyro, kehadiran TWK KPK sebagai alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara juga merupakan bentuk keangkuhan dan simbol dari krisis kejujuran KPK.
Bahkan, menurut Busyro, materi dalam TWK sendiri merepresentasikan kecerobohan dan kesembronoan dari Pimpinan KPK saat ini.
Baca juga: Pimpinan KPK Tolak Panggilan Komnas HAM, Busyro Sebut Cermin Keangkuhan
Sebab, TWK tersebut tidak menghormati hasil Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan agar tidak merugikan pegawai KPK dalam proses peralihan menjadi ASN.
Melawan hukum
Di sisi lain, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari juga mengkritik sikap pimpinan KPK yang tak memenuhi panggilan Komnas HAM.
Feri menilai tindakan tersebut mengindikasikan upaya perlawanan terhadap hukum.
"Dengan tidak hadirnya Firli terhadap panggilan lembaga negara yang berkaitan dengan dirinya maka sudah ada indikasi dia melakukan perlawanan terhadap hukum," kata Feri kepada Kompas.com, Selasa.
Oleh karenanya, sudah seharusnya Firli dkk memenuhi pemanggilan tersebut, bukan malah mempertanyakan dugaan pelanggaran yang dimaksudkan Komnas HAM.
Tidak hadirnya para pimpinan KPK, kata Feri, bisa disebut sebagai tindakan tercela.
Sebagaimana bunyi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, pimpinan lembaga antirasuah yang melakukan tindakan tercela sangat mungkin diberhentikan dari jabatannya.
Pasal 32 Ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan karena: (c) melakukan perbuatan tercela.
Baca juga: ICW: Pimpinan KPK Takut, Tak Mampu Tutupi Skandal TWK
"Proses perlawanan terhadap hukum itu bisa saja dalam konteks lembaga seperti KPK merupakan perbuatan tercela. Di dalam UU KPK melakukan perbuatan tercela karena dia pimpinan dapat menjadi alasan pemberhentiannya," ujar Feri.
Feri menilai, sikap yang ditunjukkan oleh para pimpinan KPK dalam proses alih status pegawai KPK jelas merupakan pelanggaran hukum yang sangat terbuka.
Ia khawatir, proses ini akan melemahkan integritas para pemberantas korupsi.
"Bagi saya ini betul-betul proses pelanggaran hukum yang sudah sangat terbuka dan tidak malu-malu lagi," kata Feri.
"Ini akan menyebabkan penegak hukum, terutama yang ada di KPK, mudah dirusak karena pimpinan tidak memberikan suri tauladan," tuturnya.
Langgar Etik
Tindakan pimpinan KPK yang tak memenuhi panggilan Komnas HAM juga dinilai sebagai pelanggaran kode etik.
Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi mengatur, setiap insan KPK harus menunjukkan kerja sama dengan seluruh lembaga dan aparatur negara lain.
Baca juga: 51 Pegawai KPK Diberhentikan, Pemerintahan Jokowi Dinilai Tak Prioritaskan Pemberantasan Korupsi
"Ketidakhadiran pimpinan KPK menunjukan sikap tidak menghargai dan tidak mau bekerja sama dengan lembaga negara lain. Artinya itu merupakan pelanggaran kode etik dan contoh yang buruk sebagai lembaga negara," ujar peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman, saat dihubungi, Selasa.
Zaenur menilai pimpinan KPK tidak menunjukkan sikap ksatria. Ia mengatakan, semestinya pimpinan KPK mau duduk bersama dan menjelaskan soal tes wawasan kebangsaan.
"Seharusnya mereka mau hadir dan menjelaskan, apa yang sedang dikaji oleh Komnas HAM atas dugaan diskriminasi atau pelanggaran HAM," kata Zaenur.
Di sisi lain, Zaenur menilai ketidakhadiran pimpinan KPK makin menegaskan ada sesuatu yang bermasalah dan ditutupi dalam penyelenggaraan TWK.
"Ketidakhadiran itu justru menjadi bukti bahwa memang TWK yang diselenggarakan KPK meski bekerja sama dengan pihak eksternal, memiliki banyak permasalahan dan seakan ada yang ditutupi termasuk pada lembaga negara lain yaitu Komnas HAM," pungkasnya.
Tak mampu tutupi skandal TWK
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, tidak hadirnya pimpinan KPK memenuhi panggilan itu akibat tidak mampu menutupi skandal tes wawasan kebangsaan pegawai KPK.
“Hal ini semakin memperlihatkan bahwa pimpinan KPK takut karena tidak mampu untuk menutupi skandal tes wawasan kebangsaan yang telah merenggut hak asasi sejumlah pegawai KPK,” ucap Peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada Kompas.com, Selasa.
Baca juga: Pimpinan KPK Tak Penuhi Panggilan Komnas HAM Dinilai Langgar Kode Etik
ICW pun berpandangan, alasan pimpinan KPK yang tidak menghadiri panggilan Komnas HAM dengan meminta penjelasan pelanggaran apa yang dilakukan lembaga antirasuah itu terlalu mengada-ada.
“Betapa tidak, pimpinan KPK tentu tahu bahwa hari ini ada panggilan dari Komnas HAM, semestinya seluruh agenda internal kelembagaan dapat ditunda terlebih dahulu,” ucap Kurnia.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan, pimpinan KPK semestinya memenuhi panggilan Komnas HAM.