KOMPAS.com - Pemerintah telah sepakat akan memulai pembelajaran tatap muka secara terbatas pada Juli 2021. Kesepatan ini pun menimbulkan perdebatan tentang bagaimana menyeimbangkan risiko pembelajaran dan risiko kesehatan.
Apakah sekolah aman jika dibuka kembali? Bagaimana potensi penularan kasus di sekolah dan di masyarakat?
Secara umum, kasus Covid-19 di Indonesia mulai menurun tetapi masih fluktuatif. Rasio positif (positivity rate) Covid-19 nasional masih berkisar 11-12 persen. Angka ini jauh di bawah standar WHO yang menetapkan positivity rate minimal 5 persen.
Baca juga: Jelang Pembelajaran Tatap Muka Terbatas, Vaksinasi Guru dan Tenaga Pendidik Belum Sesuai Target
Kondisi tersebut, ditambah cakupan vaksinasi di masyarakat yang masih rendah, dan tes Covid-19 yang belum optimal.
Dilansir Kompas.id, survei IDAI menunjukkan, 46,8 persen orangtua mengizinkan anak mengikuti PTM jika sekolah menerapkan protokol kesehatan; 23,8 persen menyatakan mengizinkan jika sudah tidak ada kasus Covid-19 di sekolah.
15,1 persen mengizinkan jika ada penurunan kasus; dan 13 persen orangtua sama sekali tidak mengizinkan anak belajar di sekolah selama pandemi.
Data ini menunjukkan bahwa banyak hal yang masih harus dibenahi ketika akan menyelenggarakan pembelajaran tatap muka di sekolah meski secara terbatas.
Baca juga: Komisi X: 30 Persen Sekolah Sudah Gelar Belajar Tatap Muka dalam Sepekan
Berdasarkan sejumlah studi memang menunjukkan penutupan sekolah telah berdampak pada hilang pembelajaran (learning loss), kemiskinan belajar (learning poverty), anak putus sekolah, hingga ketimpangan pendidikan yang semakin lebar.
Ancaman kekerasan terhadap anak juga meningkat karena bagi sejumlah anak sekolah juga merupakan tempat perlindungan.
Studi terbaru UNESCO menunjukkan, hilang pembelajaran menyebabkan 100 juta anak gagal menguasai keterampilan dasar membaca.
Kondisi ini juga terjadi di Indonesia, di Kota Cimahi, Jawa Barat misalnya, 15 persen anak yang naik kelas dua sekolah dasar belum bisa membaca dan menulis.
Semakin lama sekolah ditutup, dampaknya akan semakin besar. Berdasar pemodelan UNESCO Institute for Statistic, setiap satu bulan kehilangan waktu sekolah, siswa kehilangan pembelajaran selama dua bulan.
Baca juga: 5 Instruksi Jokowi soal Sekolah Tatap Muka, Kapasitas hingga Durasi Belajar
Secara global, hingga 11 November 2020 atau delapan bulan pandemi, siswa telah kehilangan rata-rata 54 persen waktu sekolah dalam satu tahun ajaran atau sekitar 25 minggu.
Untuk mencegah kerugian yang lebih besar, itulah mengapa sejumlah negara pun mulai membuka sekolah. Beberapa di antaranya telah membuka sekolah secara nasional, pun Indonesia mulai Juli 2021. Akan tetapi, hal ini tentu menimbulkan risiko.
Semua risiko harus dihitung dan diantisipasi ketika akan membuka sekolah kembali. Sekolah harus benar-benar aman ketika dibuka, keselamatan warga sekolah juga harus terjamin.
Pembelajaraannya pun harus direncanakan dan dipersiapkan dengan baik agar lebih efektif.
Baca juga: Sekolah Tatap Muka Juli: Maksimal 2 Jam Sehari, Jumlah Murid 25 Persen
Presiden Jokowi telah menginstruksikan soal pelaksanaan kembali sekolah tatap muka. Lima instruksi itu adalah:
Pertama, sekolah tatap muka yang akan dimulai pada Juli harus dilakukan secara ekstra hati-hati. Tatap muka dilakukan secara terbatas
Kedua, kuota pembelajaran tatap muka hanya boleh maksimal 25 persen dari total siswa.
Ketiga, perihal durasi, pembelajaran tatap muka tidak boleh dilakukan lebih dari dua hari dalam sepekan. Setiap hari (per satu hari) maksimal hanya dua jam (pembelajaran).
Keempat, opsi menghadirkan anak ke sekolah tetap ditentukan oleh orang tua.
Kelima, semua guru sudah harus selesai divaksinasi sebelum pembelajaran tatap muka dimulai.
Baca juga: Jokowi Minta Pembelajaran Tatap Muka Digelar Ekstra Hati-hati, Ini 5 Instruksinya
Persiapan pembukaan sekolah tentu tidak hanya perlu dilakukan di sekolah, tetapi juga di luar sekolah. Menjaga disiplin protokol kesehatan di sekolah mungkin lebih mudah dilakukan, tetapi bagaimana di luar lingkungan sekolah termasuk di masyarakat dan keluarga.
Catatan Kompas.id, protokol kesehatan cenderung kendur begitu siswa berada di luar lingkungan sekolah. Hasil evaluasi Dinas Pendidikan Kota Bekasi, Jawa Barat, atas pelaksanaan uji coba PTM terbatas menunjukkan demikian (Kompas.id 8/4/2021).
Sejumlah siswa SMK Negeri 44 Jakarta juga mengendurkan protokol jaga jarak dan penggunaan masker saat mereka pulang dari sekolah (e-paper, 12/4).
Baca juga: Juli, Sekolah Tatap Muka Dimulai: Upaya Cegah Learning Loss dan Instruksi Jokowi
Kurangnya kepatuhan protokol kesehatan di masyarakat memengaruhi kondisi tersebut.
Pemantauan kepatuhan protokol kesehatan tingkat nasional per 10 April 2021 di laman covid19.go.id menunjukkan di sebagian besar kabupaten/kota tingkat kepatuhan pemakaian masker di masyarakat masih rendah.
Baru 34,68 persen atau sekitar 120 kabupaten/kota yang masyarakatnya memiliki tingkat kepatuhan tinggi (di atas 90 persen) untuk pemakaian masker.
Selain itu, anggota keluarga yang tinggal satu rumah dengan siswa juga harus menjadi pertimbangan.
Baca juga: IDAI Beri Panduan Tambahan untuk Sekolah Berasrama yang Gelar Pembelajaran Tatap Muka
Survei IDAI yang direspons sekitar 17.400 orangtua siswa menunjukkan 66 persen siswa tinggal di rumah yang ada orang lanjut usia (lansia) dan anak di bawah usia lima tahun (balita).
Lansia dan anak balita juga harus dijaga ketika sekolah dibuka karena termasuk kelompok berisiko tinggi terinfeksi Covid-19.
Jika anak terinfeksi Covid-19 di sekolah, dia berpotensi menularkannya kepada anggota keluarga lainnya.
Komisioner Koalisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Pendidikan Retno Listyarti pada Kompas.id mendesak pemerintah daerah membuka data kasus Covid-19 dan tes usap lebih transparan.
Data yang benar-benar merefleksikan situasi pandemi di daerah tersebut sehingga keputusan untuk membuka sekolah bisa dipertanggung jawabkan.
Tetapi sekali lagi, keputusan ada di orangtua. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek), Nadiem Makarim, sudah menegaskan bahwa orangtua memiliki hak mutlak untuk menentukan apakah anaknya sudah boleh mengikuti sekolah tatap muka atau tidak.
“Itu hak prerogatif orang tua untuk memilih anaknya mau belajar tatap muka atau belajar jarak jauh,” ujar Nadiem.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.