SUNGGUH luar biasa para pendiri negara telah mampu merumuskan suatu dasar negara yang mengagumkan dunia.
Menurut Notonagoro, Pancasila bukan hanya mengandung kebenaran secara ilmiah, tetapi juga kebenaran filosofis dan religius.
Kebenaran secara filosofis ditunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila merupakan kebutuhan dasar dari setiap manusia.
Pancasila lahir dari kebutuhan kodrat manusia sebagai makhluk religius dan makhluk sosial.
Sebagai makhluk religius, setiap manusia akan mencari dan mempercayai adanya suatu kekuatan yang transenden, yang kemudian dalam bahasa agama disebut dengan Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Adapun sebagai makhluk sosial, setiap manusia selalu membutuhkan kehadiran dan hidup bersama dengan orang lain.
Untuk menyatakan eksistensinya sebagai manusia, seseorang tidak bisa hidup sendirian dan lepas dari kehadiran orang lain.
Dalam kehidupan bersama tersebut, mereka saling membutuhkan pengakuan atas kesamaan harkat dan martabat sebagai manusia, serta mengakui adanya perbedaan yang memang merupakan suatu yang taken for granted yang tidak bisa ditolak.
Kehadiran individu dengan hak-haknya harus tetapi dijunjung dan dihargai, sehingga muncul suatu kebutuhan akan keadilan sosial.
Kebenaran Pancasila secara religius bisa dilihat dari hubungan antara nilai-nilai Pancasila dengan ajaran agama.
Nilai-nilai Pancasila merupakan suatu yang diajarkan oleh agama-agama yang ada dan diakui di Indonesia. Bahkan mungkin tidak ada agama di dunia ini yang tidak mengajarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Nilai-nilai Pancasila, menurut Bung Karno, telah ada dan menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia.
Nilai-nilai tersebut telah dipraktikkan dalam kehidupan yang tecermin dalam sikap dan perilaku hidup sehari-hari.
Oleh karena itu, Bung Karno tidak mau menyebut dirinya sebagai pencipta Pancasila, tetapi sebagai penggali nilai-nilai dari budaya masyarakat yang dapat dijadikan sebagai filosofische grondslag, dasar filsafat negara.
Hal ini sejalan dengan pendapat Notonagoro bahwa adat dan kebudayaan masyarakat merupakan kausa materialis dari Pancasila.
Adapun menurut Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila adalah filsafat bangsa yang terbenam dalam bumi bangsa Indonesia dan terkandung bisu dalam kalbu rakyat Indonesia.
Menurut Driyarkara, sebagai suatu filsafat, Pancasila masih bersifat abstrak, ide yang harus dijabarkan dalam bentuk yang lebih operasional dan konkret. Sehingga, Pancasila bisa tampak jernih dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Praksis tersebut yang diharapakan mampu menghantarkan bangsa Indonesia menuju dan mewujudkan masyarakat yang sejahtera adil dan makmur.
Sebagaimana yang digambar dalam tulisan para pujangga sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kertorahardjo.
Tanpa dipraktikkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tentu Pancasila hanya akan menjadi utopia.
Pertanyaannya adalah bagaimana dan dalam bidang apa serta oleh siapa Pancasila harus dipraktikkan?
Tentu semua warga negara Indonesia memiliki kewajiban moral untuk mengamalkan filsafat Pancasila sesuai dengan status dan kedudukannya.
Keyakinan rakyat Indoneisa akan kebenaran Pancasila dan kesadaran untuk mengamalkannya merupakan kesaktian dari Pancasila.
Sebagai negara hukum, Pancasila diimplementasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Pancasila harus menjiwai dan menjadi roh dari setiap peraturan perundang-undangan. Tidak boleh ada peraturan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Jika ada peraturan yang tidak sesuai apalagi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila harus dibatalkan.
Dalam tata perundang-undangan, hal ini bisa dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan untuk melakukan uji materiil terhadap setiap produk undang-undang.
Tentu implementasi Pancasila dalam peraturan perundang-undangan sangat dipengaruhi DPR, yang secara hukum memiliki kewenangan membuat undang-undang bersama pemerintah. Meskipun demikian, produknya lebih ditentukan oleh paradigma berpikir para elite politik.
Apakah mereka memiliki cukup kecerdasan dan jiwa kenegarawanan dalam merumuskan undang-undang sebagai produk politik, atau justru undang-undang dibuat untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Implementasi Pancasila yang lain adalah dalam bentuk kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, mulai dari pusat sampai ke daerah.
Setiap pembangunan seharusnya ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pembangunan tidak boleh hanya untuk memenuhi kebutuhan sekelompok orang atau daerah, tetapi harus dilakukan secara adil dan merata di semua wilayah Indonesia.
Namun seringkali, pembangunan belum bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat Indonesia.
Implementasi Pancasila yang paling utama adalah integritas dan moralitas para elite politik dan penyelenggara negara.
Selama mereka dan tidak memiliki jiwa Pancasila, maka peraturan dan kebijakan pembangunan yang dihasilkan tidak mengarah kepada terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, moralitas para elite menjadi indikator utama dari praktik Pancasila.
Dalam masyarakat yang paternalistik, para elite menjadi role model rakyat dalam pengamalan Pancasila.
Sikap dan perilaku mereka akan menjadi rujukan dan standar perilaku masyarakat menjadi panutan rakyat.
Pendidikan moral Pancasila yang dilakukan di sekolah seringkali terbentur dengan sikap dan perilaku elite yang tidak sesuai dengan Pancasila.
Upaya untuk menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila akan dilemahkan oleh banyaknya sikap dan perilaku para elite yang tidak sesuai dengan Pancasila.
Pancasila sebagai suatu ide, pemikiran dan filsafat bersumber dari kodrat dan merupakan kebutuhan kodrat manusia, namun implementasinya juga berbenturan dengan kodrat manusia sendiri.
Kodrat manusia sebagai makhluk monopluralis memiliki unsur-unsur yang saling bernegasi. Kedudukan kodratnya sebagai makhluk Tuhan bernegasi dengan kedudukannya sebagai makhluk pribadi yang memiliki kebebasan.
Adapun sifat kodratnya sebagai makhluk sosial bernegasi dengan sifatnya sebagai individu yang memiliki ke-aku-an, (pemilikan, behaving), yang menjadi sumber keserakanan dan kesewenang-wenangan.
Unsur-unsur yang saling bernegasi tersebut hanya bisa diselesaikan oleh jiwa yaitu akal, rasa, dan karsa.
Akal yang akan membimbing ke arah kebenaran berdasarkan logika yang sehat. Karsa akan membimbing sikap dan perilaku ke arah kebaikan. Dan, rasa akan membimbing kearah kepatutan dan keadilan sosial.
Oleh karena itu, sejak awal para pendiri negara menempatkan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai salah satu tujuan negara.
Kecerdasan yang dimaksudkan di sini bukan dalam mengatasi masalah, melainkan kecerdasan dalam mengendalikan unsur-unsur negatif dalam diri kita sendiri.
Dengan kemampuan mengendalikan keserakahan dan kesewenang-wenangan, khususnya dari para elite politik akan terwujud tujuan bernegara, yaitu masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.