Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Novel Mengaku Sempat Percaya Firli yang Bilang TWK Hanya Petakan Pegawai

Kompas.com - 03/06/2021, 11:00 WIB
Tatang Guritno,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mengaku sempat mempercayai ucapan Ketua KPK Firli Bahuri terkait tes wawasan kebangsaan (TWK).

Novel mengaku sempat menghubungi Firli melalui aplikasi WhatsApp untuk menanyakan urgensi pengadaan TWK.

"Saya sempat tanya Pak Firli, saya WhatsApp, apakah jika TWK digunakan untuk mencari tahu ada pegawai yang berhubungan dengan organisasi terlarang, maka sudah ada indikasinya? Apa indikasinya?" kata Novel dalam diskusi virtual yang diadakan Arus Santri Antikorupsi (ASASI) dan Pasantren Amanah dan Anti Rasuah (PATUH), Rabu (2/6/2021).

Baca juga: Novel Mengaku Sempat Bertanya kepada Firli Bahuri tentang Urgensi TWK

Novel menyampaikan pertanyaan itu karena selama ini informasi yang disampaikan para pimpinan KPK adalah TWK digunakan hanya sebagai asesmen serta melihat apakah pegawai KPK tidak berafiliasi dengan partai terlarang, mencintai NKRI, patuh pada UUD 1945, dan Pancasila.

Setelah itu, menurut Novel, Firli menjawab bahwa tidak ditemukan indikasi adanya pegawai yang tergabung dengan organisasi terlarang.

"Dijawab beliau 'tidak ada'. Lalu saya mengatakan jika memang ada indikasinya tidak perlu menunggu proses peralihan status kepegawaian. Setiap saat pegawai itu bisa diberhentikan, disingkirkan, karena hal itu juga sudah melanggar kode etik di KPK," kata dia.

Novel mengatakan, setelah itu Firli menjelaskan padanya bahwa TWK hanya digunakan untuk memetakan pegawai.

Karena mendapat keterangan itu, Novel bersama sejumlah pegawai lainnya kemudian memilih mempercayai pernyataan Firli dan mengikuti TWK.

"Maka kami kemudian berpikir positif dan mengikuti saja, tetapi akhirnya masalahnya banyak," kata dia.

Baca juga: KPK Tak Akan Publikasikan Nama-nama Pegawai yang Tak Lolos TWK

Di sisi lain, Novel merasa aneh bahwa dirinya dianggap tak lolos TWK. Saat menjalani TWK, ia sempat mendapat pertanyaan dari tim asesor tentang pandangannya akan persoalan korupsi di Papua.

Pada pertanyaan itu, Novel menjawab bahwa persoalan di Papua mesti dilihat dari sudut pandang disintegrasi. Bahwa terjadinya disintegrasi itu karena masalah kesejahteraan.

"Jika korupsi bisa dieliminir di Papua, masalah kesejahteraan bisa teratasi, tetapi atas jawaban saya itu kemudian dimaknai tidak lolos wawasan kebangsaan, kan aneh," kata dia.

Novel menilai bahwa pemberhentian dirinya dan 50 pegawai lain yang dianggap tak memenuhi syarat (TMS) menjadi aparatur sipil negara (ASN) karena tak lolos TWK akan membuat banyak pihak takut memperjuangkan kepentingan negara.

Apalagi, stigma yang seolah diberikan bahwa para pegawai tak lolos TWK itu punya ideologi radikal dan taliban.

"Orang-orang yang risiko pengabdian, dan dedikasi terbaik dengan mudah disebut radikal atau taliban. Saya khawatir ke depan orang-orang takut jika benar-benar membela kepentingan negara," ucap dia.

Baca juga: Dilaporkan Novel Baswedan dkk, KPK: Kami Hormati dan Serahkan Sepenuhnya ke Komnas HAM

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Nasional
Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Nasional
Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Nasional
Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup: Pilih Partai, Bukan Caleg

Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup: Pilih Partai, Bukan Caleg

Nasional
KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

Nasional
Pengamat Heran 'Amicus Curiae' Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Pengamat Heran "Amicus Curiae" Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Nasional
Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Nasional
Marak 'Amicus Curiae', Pakar: Jadi Pertimbangan Hakim MK untuk Gali Rasa Keadilan dalam Masyarakat

Marak "Amicus Curiae", Pakar: Jadi Pertimbangan Hakim MK untuk Gali Rasa Keadilan dalam Masyarakat

Nasional
Menpan-RB Setujui 40.839 Formasi CASN Kemensos demi Kuatkan Layanan Sosial Nasional

Menpan-RB Setujui 40.839 Formasi CASN Kemensos demi Kuatkan Layanan Sosial Nasional

Nasional
Prabowo Disebut Sudah Minta AHY Berikan Nama Kader Demokrat untuk Masuk Kabinet Mendatang

Prabowo Disebut Sudah Minta AHY Berikan Nama Kader Demokrat untuk Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Pangkoarmada I Akan Buat Kajian agar Kapal Patroli yang Dibeli dari Italia Ditempatkan di Wilayahnya

Pangkoarmada I Akan Buat Kajian agar Kapal Patroli yang Dibeli dari Italia Ditempatkan di Wilayahnya

Nasional
Pakar: 'Amicus Curiae' untuk Sengketa Pilpres Fenomena Baru

Pakar: "Amicus Curiae" untuk Sengketa Pilpres Fenomena Baru

Nasional
Densus 88 Polri Kembali Tangkap 1 Teroris Jaringan JI di Sulteng, Totalnya Jadi 8

Densus 88 Polri Kembali Tangkap 1 Teroris Jaringan JI di Sulteng, Totalnya Jadi 8

Nasional
Yusril Tertawa Ceritakan Saksi Ganjar-Mahfud Bawa Beras 5 Kg untuk Buktikan Politisasi Bansos

Yusril Tertawa Ceritakan Saksi Ganjar-Mahfud Bawa Beras 5 Kg untuk Buktikan Politisasi Bansos

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Karangan Bunga Bernada Sindiran Muncul di MK

Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Karangan Bunga Bernada Sindiran Muncul di MK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com