Kemunduran
Harapan yang sama juga disampaikan oleh Benydictus Siumlala. Pegawai di Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK ini menilai, seharusnya Presiden Joko Widodo sudah menunjukkan keberpihakan ketika muncul penolakan terhadap revisi UU KPK.
Sejak disahkan pada 17 September 2019, UU KPK hasil revisi menuai kontroversi.
Proses revisi yang begitu cepat dinilai tak sesuai dengan pembentukan peraturan perundang-undangan. Substansi UU pun dianggap melemahkan lembaga antirasuah itu.
Akibatnya, demonstrasi besar-besaran pecah di berbagai kota. Mahasiswa dari berbagai universitas turun ke jalan, meminta Presiden Joko Widodo membatalkan UU KPK hasil revisi.
Baca juga: Terima 390 Aduan Kekerasan saat Aksi Reformasi Dikorupsi, Tim Advokasi Lapor ke Komnas HAM
Ketika itu, puluhan tokoh nasional sempat menemui Jokowi. Mereka meminta Jokowi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan UU KPK hasil revisi.
Sejumlah tokoh yang kala itu bertemu Jokowi di antaranya mantan pimpinan KPK Erry Riana Hadjapamekas, Mahfud MD, pakar hukum tata negara Feri Amsari dan Bivitri Susanti.
Hadir juga tokoh lain seperti Goenawan Mohamad, Butet Kartaredjasa, Franz Magnis Suseno, Christine Hakim, Quraish Shihab dan Azyumardi Azra.
Dalam pertemuan yang berlangsung selama dua jam itu, Jokowi mengaku mendapat masukan dari para tokoh dan mempertimbangkan penerbitan perppu.
Namun, Jokowi memastikan tak akan menerbitkan perppu seperti yang ia janjikan sebelumnya. Ia beralasan ingin menghormati proses uji materi UU KPK hasil revisi yang bergulir di MK.
“Sebaiknya Presiden segera mengambil alih komando pemberantasan korupsi. Salah satunya kita ingin Presiden menerbitkan perppu supaya bisa kembali ke UU Nomor 30 tahun 2002,” kata Beny.
Ia menilai, pasca-revisi UU KPK, agenda pemberantasan korupsi justru mengalami kemunduran. Ia mencontohkan penurunan skor indeks persepsi korupsi (IPK) pada 2020.
Baca juga: Mahfud Duga Turunnya Indeks Persepsi Korupsi Berkaitan dengan Revisi UU KPK
Skor IPK Indonesia menurun tiga poin dari 2019, yakni dari skor 40 menjadi 37. Semakin tinggi skor, sebuah negara dipersepsikan bebas korupsi.
jika dibandingkan dengan negara-negara kawasan Asia Tenggara, IPK Indonesia berada di peringkat lima di bawah Singapura (85), Brunei Darussalam (60), Malaysia (51), dan Timor Leste (40).
Dengan skor 37, kini Indonesia berada di peringkat ke-102 dari 180 negara yang disurvei.
Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM menduga penurunan IPK ini terkait dengan revisi UU KPK. Sebab, setelah revisi, jumlah penindakan dan operasi tangkap tangan (OTT) menurun.
Menurut Beny, pada 2020 KPK hanya melakukan tujuh OTT. Sementara itu, pada 2019, tercatat ada 21 OTT yang dilakukan KPK.
“Presiden sudah harus mengambil langkah yang nyata, karena sudah banyak bukti setelah revisi UU KPK itu, pemberantasan korupsi kita menjadi mundur ke belakang,” ucap Beny.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.