JUDUL di atas diambil dari komentar di time line medsos seorang teman. Satirenya mengekspresikan sesuatu yang ambigu.
Di satu sisi ia mencintai Pancasila. Nasionalismenya cukup tinggi. Tapi di sisi lain ia kecewa kepadanya. Pancasila selalu dinarasikan sakti setiap bulan Oktober, sementara nilai-nilainya tidak dihidupi oleh sebagian elit penguasa.
Benci tapi cinta yang dirasakan teman saya itu mewakili perasaan rakyat kebanyakan terhadap Pancasila.
Sayangnya, perasaan itu jarang diperhatikan dan dipahami. Padahal, inilah yang bangsa ini perlu lakukan jika ingin Pancasila menjadi ideologi yang relevan.
Salah satu tafsir terhadap Pancasila dilakukan oleh almarhum Eka Darmaputera. Dalam disertasi yang dipertahankan di Boston university, Eka menggunakan perspektif fungsionalisme parsonian untuk menjelaskan Pancasila.
Menurutnya, sebagai ideologi negara, Pancasila berfungsi sebagai nilai bersama yang istimewa. Ia dapat mencegah disintegrasi dan mendukung modernisasi.
Dengan menganalisa nilai-nilai budaya dalam Pancasila- seperti tepa salira, narima, rasa- Eka menyimpulkan bahwa nilai-nilai di dalamnya berakar dari budaya atau konsensus bersama rakyat Indonesia.
Sebagai budaya, rakyat mengikuti dan menghidupinya secara suka rela. Apalagi ia berfungsi untuk mempersatukan rakyat dan membantu bangsa Indonesia menjadi maju.
Kelemahan perspektif fungsional parsonian adalah ia memberi sedikit ruang kepada perbedaan atau perubahaan sosial jika membicarakan soal struktur dan fungsi sosial.
Karena struktur sosial (baca: Pancasila) berfungsi untuk kepentingan masyarakat, maka rakyat akan bertindak berdasarkan nilai-nilai tersebut. Rakyat tidak akan kritis. Mereka tidak akan hidup di luar nilai -nilai Pancasila.
Kita mengetahui, Orde Baru mengembangkan narasi tentang Pancasila yang luhur dan suci seperti itu. Rezim pembangunan tersebut membungkam suara yang berbeda (demi persatuan) dengan dalih pembangunan.
Orde Baru mengembangkan tafsir tunggal tentang Pancasila yang seperti itu. Mereka tidak segan-segan menggebuk siapa pun yang tindakan, perilaku, cara pikirnya tidak Pancasilais.
Penguasa yang memerintah selama 32 tahun itu melazimkan dirinya yang zalim kepada rakyat dengan legitimasi Pancasila.
Tafsir terhadap Pancasila dengan paradigma struktural memang dapat menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila yang dianggap luhur dan suci adalah mitos secara empiri.
Thesis Ph.D Robison di Universitas Sydney (1978) menunjukkan kalau pancasila tidak suci di mata rezim yang berkuasa. Lewat analisa konflik antar kelas, ia menyimpulkan bahwa Pancasila, sejak 1959 ketika Soekarno membubarkan Parlemen, bahkan setelah 1965, dipakai untuk melayani kepentingan kelas penguasa dan pengusaha.