Kalau demikian halnya, apakah itu berarti kita tidak perlu mempercayai Pancasila lagi sebab ia hanya melayani kepentingan rezim yang berkuasa?
Adakah cara pandang alternatif yang membuat pancasila dapat mennjadi agama publik yang dihidupi oleh rakyat Indonesia?
Prinsip demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat. Jika kita menghendaki Pancasila menjadi civic religion, maka bangsa ini perlu memberi ruang luas untuk rakyat menginterpretasikan Pancasila.
Paradigma fungsional yang menasfirkan Pancasila sebagai nilai atau kultur bangsa dan paradigma struktural-konfliktual menolong kita melihat fungsi Pancasila sebagai pemersatu dan alat ideologi untuk melayani kepentingan penguasa.
Namun kedua paradigma tersebut masih bersifat elitis karena berfokus kepada penguasa. Cara pandang keduanya belum memberi ruang kepada rakyat. Padahal, rakyatlah yang menjadi subyek yang menghidupi Pancasila.
Paradigma simbolik -interaksionis memberi perhatian pada individu-individu yang membentuk masyarakat.
Paradigma ini melihat secara mikro interaksi antar individu, baik verbal-non verbal, simbol, humor, satire, segala bentuk komunikasi antar individu.
Komunikasi atau interaksi antar individu tersebut tersebut adalah alat untuk memaknai dan membentuk dunia mereka. Komunikasi itu juga otentik, sebab keluar dari pengalaman tiap individu.
Jika kita ingin Pancasila bermakna, maka kita perlu memperhatikan interaksi individu-individu dan mendengarkan interpretasi mereka tentang Pancasila.
Interpretasi dan aspirasi tersebut otentik dan dapat menjadi masukan berarti untuk melihat seberapa jauh Pancasila dihidupi oleh rakyat Indonesia.
Misalnya saja, dengan merefleksikan apa yang dikatakan kawan saya tentang Pancasila. Kita tidak tahu seberapa banyak rakyat Indonesia yang perasaannya benci tapi cinta kepada pancasila.
Menurut saya, perasaan tersebut lebih baik dari pada sebagian pejabat yang mengatakan cinta Pancasila tetapi mencampakkannya melalui korupsi yang dilakukan sembunyi-sembunyi.
Menteri yang korupsi dana bansos, misalnya. Juga lebih baik dari pada orang Indonesia yang benci kepada Pancasila karena melihat ada alternatif ideologi yang lebih luhur dibanding Pancasila.
Perhatian kepada narasi rakyat yang sehari-hari menafsirkan dan menghidupi Pancasila dibutuhkan jika kita ingin melihat Pancasila relevan.
Upaya elitis - formal menafsirkan dan menghidupi Pancasila seperti yang dilakukan -misalnya- oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tentu diperlukan.
Tetapi upaya-upaya seperti yang dilakukan BPIP tidak akan banyak manfaatnya kalau tidak mendengarkan secara empatis suara rakyat banyak terkait Pancasila.
Tanpa mendengarkan suara rakyat, BPIP akan menjadi seperti BP7 di zaman Orde Baru. Keberadaaannya tidak akan banyak berdampak sebab rakyat mengetahui kalau rakyat yang (seharusnya) menjadi subyek di negeri Pancasila belum benar-benar dihormati.
Kalau ini yang terjadi, rakyat akan terus memproduksi satire terkait Pancasila yang sakti, eh, sakit.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.