JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, penerapan hukuman mati tidak akan menciptakan efek jera dalam jangka panjang.
Hal ini, menurut Erasmus, sudah banyak dibahas dalam banyak jurnal penelitian.
“Jadi kalau ditanya apakah ada hubungan kuat antara pidana mati dan efek jera, maka Bapak, Ibu akan menemukan banyak jurnal yang menyatakan tidak ada hubungannya,” kata Erasmus dalam webinar Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2021, Jumat (28/5/2021).
Baca juga: Amnesty: Vonis Hukuman Mati Indonesia Tahun 2020 Capai Rekor Tertinggi di Masa Kepemimpinan Jokowi
Erasmus menuturkan, banyak jurnal atau kajian yang menyebut penerapan hukuman mati hanya digunakan untuk menunjukkan kekuasaan dari suatu negara.
Selain itu, hukuman mati juga berkaitan erat dengan ketidakmampuan suatu negara dalam tata kelola penyelesaian suatu tindak pidana.
“Jadi kalau urusannya bukan power, maka kedua adalah ketidakmampuan negara untuk mengelola,” ucap dia.
Erasmus mencontohkan Portugal yang dinilai sukses menekan kasus penyalahgunaan narkotika tanpa menerapkan hukuman mati.
Portugal dianggap berhasil mengelola dan mengontrol peredaran narkotika sehingga tidak beredar di pasar gelap.
“Dia (Pemerintah Portugal) tekan demand-nya (permintaannya). Pengguna narkotika tidak dipenjara. Pengunaannya dikontrol oleh negara sehingga pasar gelapnya tidak laku,” ucap dia.
“Masyarakat enggak beli narkotika ke pasar gelap, dia belinya di negara, ke tempat-tempat yang kemudian dia bisa askes,” imbuh Erasmus.
Baca juga: Komnas HAM Dorong Pemerintah Hapus Hukuman Mati dengan Skema Masa Percobaan 10 Tahun
Erasmus menambahkan, penerapan hukuman mati hanya bisa menciptakan efek jera dalam jangka pendek.
“Ada satu jurnal di Amerika saat itu yang menyatakan ada hubungannya tapi efek deterrent itu tidak berhubungan dalam jangka waktu panjang,” ucap dia.
Adapun penerapan hukuman mati merupakan salah satu substansi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dianggap bermasalah.
Ketentuan pidana mati dinilai bertentangan dengan sejumlah prinsip HAM internasional. Sementara, Indonesia sudah meratifikasi konvenan internasional tentang hak sipil dan politik.
Dalam konvenan tersebut dinyatakan bahwa hak hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi. Indonesia meratifikasinya melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights.
Selain melanggar konvenan internasional, penerapan hukuman mati juga melanggar pasal 28 UUD 1945 dan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 28A UUD 1945 menyebutkan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Baca juga: RKUHP Dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2021, ICJR Usul Pembahasan Dilakukan Bertahap
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.