JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menilai, menikahkan korban dengan pelaku kekerasan seksual adalah tindakan yang tidak sejalan dengan prinsip perlindungan hak anak.
Hal ini ia katakan terkait adanya kasus pemerkosaan yang dilakukan anak Anggota DPRD Kota Bekasi yakni AT (21) terhadap anak usia 15 tahun.
"Jalan menikahkan anak korban dengan pelaku kekerasan seksual dalam hal ini perkosaan selain tidak sejalan dengan prinsip perlindungan hak anak juga bertentangan dengan komitmen pencegahan perkawinan anak," kata Maidina melalui keterangan tertulisnya, Jumat (28/5/2021).
Baca juga: ICJR: UU ITE Tidak Melindungi Korban Kekerasan Berbasis Gender
Ia menjelaskan, Pasal 26 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak secara nyata menyatakan orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan anak.
Selain itu, dalam UU Perlindungan Anak juga telah dinyatakan anak korban kejahatan seksual memerlukan perlindungan khusus yang terdiri dari upaya edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan, rehabilitasi sosial.
Kemudian, pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan serta pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.
"Menikahkan korban dan pelaku dengan konsekuensi korban harus terus hidup bersama orang yang melakukan kekerasan terhadapnya jelas bukan merupakan pemulihan," ujarnya.
Baca juga: ICJR Heran Polisi Menyemangati Warga Laporkan Akun Medsos dengan Beri Lencana
Oleh karena itu, ICJR mengingatkan aparat penegak hukum yang menangani kasus kekerasan seksual untuk menggunakan perspektif korban dan anak.
Menurut dia, penyidik harus peka dengan orientasi tetap pada anak korban dan bukan semata-mata narasi penyelesaian perkara dengan pernikahan yang dapat berdampak buruk pada anak.
"Ide menikahkan korban dengan dalih menghindari dosa apalagi untuk meringankan hukuman jelas tidak dapat dibenarkan," kata Maidina.
"Pelaku telah melakukan tindak pidana, yang merupakan urusan hukum publik, bukan ranah kekeluargaan atau keperdataan," ucap dia.
Baca juga: Kemendikbud Ristek: Tiga Cara Atasi Kekerasan Seksual di Sekolah