Sementara, lima terdakwa lain dalam kasus kerumunan Petamburan dituntut hukuman 1,5 tahun penjara serta pencabutan hak menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi masyarakat selama dua tahun.
Lima terdakwa itu dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam percepatan pencegahan Covid-19 bahkan memperburuk kedaruratan kesehatan masyarakat dan mengganggu keamanan dan ketertiban umum serta mengakibatkan keresahan masyarakat.
Selain itu, para terdakwa dianggap tidak menjaga sopan santun dan berbelit-belit dalam memberikan keterangan di persidangan.
Di samping itu, JPU juga meminta agar majelis hakim melarang kegiatan penggunaan simbol atau atribut terkait FPI dalam putusannya.
Pleidoi
Saat membacakan pleidoi atau nota pembelaan pada Kamis (20/5/2021), Rizieq meyakini kasus yang menjeratnya sarat kepentingan politik.
Menurut Rizieq, dalam kasus ini, hukum hanya menjadi alat legalisasi untuk memenuhi dendam politik terhadap dirinya.
"Saya makin percaya dan yakin bahwa ini adalah kasus politik yang dibungkus dengan kasus hukum, sehingga hukum hanya menjadi alat legalisasi dan justifikasi untuk memenuhi dendam politik oligarki terhadap saya dan kawan-kawan," kata Rizieq.
Rizieq beranggapan, ada serangkaian peristiwa politik yang membuat ia dan pengurus FPI menjadi target pemerintah.
Ia merasa dirinya beserta pengurus dan simpatisan FPI menjadi target kriminalisasi sejak adanya kasus penodaaan agama yang menyeret mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok.
Baca juga: Sebut Jaksa Buat Fakta Bohong, Rizieq Shihab Bantah Pernah Lakukan Tindak Pidana
Seperti diketahui, FPI merupakan salah satu motor dalam aksi 411 dan 212 yang menuntut proses hukum terhadap Ahok.
Rizieq mengatakan, berbagai upaya kriminalisasi kepada dirinya dan FPI terus terjadi, bahkan ketika ia pindah ke Mekah, Arab Saudi. Begitu juga ketika ia kembali ke Tanah Air pada November 2020.
"Ini menjadi bukti bahwa kasus pelanggaran protokol kesehatan yang saya hadapi merupakan bagian dari operasi intelijen berskala besar yang didanai para oligarki, sehingga ketiga kasus hukum tersebut hanya dijadikan alat justifikasi dengan menunggangi polisi dan jaksa penuntut umum dalam rangka balas dendam politik," kata Rizieq.
Dalam pleidoinya, Rizieq juga membandingkan kerumunan yang terjadi di Petamburan dan Megamendung dengan kerumunan di tempat lain yang tidak diproses hukum.
Salah satunya, ia menyinggung kerumunan warga yang menyambut Presiden Joko Widodo di Kalimantan Selatan pada 18 Januari 2021 dan di Nusa Tenggara Timur pada 23 Februari 2021.
"Jika pelanggaran prokes merupakan kejahatan prokes sebagaimana pendapat JPU, maka berarti menurut istilah JPU tersebut bahwa para tokoh nasional tersebut termasuk Presiden Jokowi adalah penjahat prokes," tutur Rizieq.
Baca juga: Rizieq Minta Maaf ke Hakim dalam Sidang Pembacaan Pleidoi
"Lalu kenapa para penjahat prokes tersebut tidak diproses hukum dan tidak dipidanakan hingga pengadilan oleh JPU?" tambahnya.
Ia sendiri menilai, merujuk pada kesaksian ahli dalam persidangan, pelanggaran protokol kesehatan bukan merupakan sebuah tindak kejahatan.
Menurut Rizieq, JPU justru bersikukuh menganggap dirinya melakukan kejahatan protokol kesehatan sehingga dalam tuntutannya mengaitkan sejumlah masalah yang tidak ada sangkut pautnya dengan kasus.
"Jaksa penuntut umum karena didorong oleh syahwat memidanakan terdakwa sebagai penjahat, maka dalam persidangan ini begitu semangat ngotot menyebut pelanggaran prokes sebagai kejahatan prokes. Sehingga, menuntut terdakwa dengan pasal-pasal yang tidak karu-karuan dan masalah yang tidak ada kaitan maupun sangkut paut sama sekali dengan kasus," kata Rizieq.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.