AKTIVITAS sejumlah pegiat antikorupsi diretas. Apa yang terjadi?
Peretasan bermula saat konferensi pers yang digelar pada Senin pekan lalu secara daring. Hadir dalam acara tersebut sejumlah eks pimpinan KPK, di antaranya Busyro Muqoddas, Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, Saut Situmorang, Bambang Widjojanto.
Selain itu hadir pula pula sejumlah pegiat antikorupsi yang tergabung dalam Indonesia Corruption Watch (ICW).
Baca juga: Novel dan Pegawai KPK Lain Diretas, Pukat UGM: Polanya Khas, Target Spesifik, Tujuannya Tebar Teror
Pada saat konferensi pers berlangsung ada-ada saja kejadiannya. Moderatornya, Nisa Zonzoa, tiba-tiba dipesankan makanan lewat aplikasi online-nya.
"Ada seblak level 5, Pizza, Dim sum, dan banyak lagi. Sebagian sampai ke saya, dan saya bayar. Tapi sebagian yang lain dibayar oleh driver ojek onlinenya, karena Sang Ojek menolak untuk saya bayar. Biar saya makan Mbak, kata dia," ungkap Nisa kepada saya di Program AIMAN yang tayang setiap Senin pukul 20.00 di KompasTV.
Tak berhenti sampai di situ, sejumlah pelaku peretasan yang bergerak secara siluman ini juga masuk ke tautan zoom dan mengacaukan acara. Di antaranya mematikan mikrofon dan video sejumlah pimpinan KPK juga peserta, hingga menampilkan video porno di tengah-tengah zoom meeting konferensi pers.
Sejumlah aktivis lain juga mendapat serangan lanjutan. Di antaranya adalah mendapat robocall, alias telepon bertubi-tubi dari berbagai nomor. Uniknya, telepon ini berasal dari satu operator saja.
Memang ada sejumlah perangkat yang memungkinkan peretas masuk ke dalam aplikasi korban yang dijadikan target. Perangkat macam ini disebut Spyware. Ada berbagai jenisnya.
Salah satu yang terkenal adalah Finfischer yang bisa dijual di pasar gelap. Siapapun bisa membelinya dengan harga belasan hingga di atas Rp 20 miliar.
Dalam situs citizenlab.ca, semacam situs aktivis HAM internet, terdeteksi aktivitas Finfischer marak di Indonesia. Entah siapa yang menggunakan.
Ada pula perangkat terbaru yaitu Pegasus, perangkat yang diklaim paling canggih saat ini. Biasanya digunakan oleh negara-negara blok Amerika Serikat. Rusia dan Tiongkok menggunakan jenis yang berbeda, meski tak kalah canggih.
Pegasus adalah perangkat buatan Israel. Ia bisa masuk ke dalam perangkat digital, entah itu HP atau laptop korban, dan melihat hingga mengakses apa yang biasa dilihat oleh korban dalam perangkatnya.
Bahkan Pegasus bisa menyalakan mikrofon dan video dalam keadaan perangkat tidak digunakan. Sehingga bisa merekam semuanya tanpa diketahui sang empunya.
Dalam situs Citizenlab.ca, Pegasus berlum terdeteksi berkeliaran di Indonesia. Tapi tunggu dulu. Catatan yang ada situs itu adalah catatan pada 2018, 3 tahun lalu. Saat ini? Tak ada yang tahu.
Di pasar resmi perangkat Pegasus ini dijual hingga Rp 500 miliar. Di pasar gelap tentu harganya mahal. Sulit dibayangkan jika perangkat ini dimiliki oleh perorangan, tak seperti Finfischer.
Saya mengubungi pakar keamanan siber, Ruby Alamsyah. Saya bertanya, apa bedanya perangkat lunak mata-mata Pegasus dan Finfischer, karena harganya beda jauh.
"Pegasus jauh lebih canggih baik dalam membuka akses maupun kemampuan spy-nya. Pegasus yang tertanam di perangkat korban, maka korban tidak akan mengetahui telah ditanam perangkat mata - mata. Karena, paket data dan baterainya tidak cepat habis, seperti perangkat yang jauh lebih murah, serta aksesnya jauh lebih luas. Tak pengaruh mau pake Hp android atau IOS, semua bisa diakses," kata Ruby kepada saya.
Bagaimana bisa terinfeksi spyware?
Pegasus adalah perangkat paling canggih. Infeksi terjadi hanya dengan mengklik tautan yang dikirim pada sasaran, bisa tautan video, gambar, atau berita.
Oleh karena itu, keamanan dua faktor menjadi penting. Para peretas pasti akan melakukan berbagai cara untuk menembus pertahanan.
Lalu bagaimana dengan peretasan aktivis tadi?
Sesungguhnya ada undang-undang ITE yang bisa menjerat siapa pun yang melakukan pengambilan data secara ilegal. Ancamannya 7 tahun dan denda miliaran. Demikian disampaikan Juru Bicara Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN) Anton Setiawan.
Akankah kasus ini bakal terungkap? Hmmm…
Bukankah kita selayaknya merawat kebebasan sipil sebagaimana kita juga harus terus merawat keberagaman?
Saya Aiman Witjaksono...
Salam!