JAKARTA, KOMPAS.com – Pepatah mengatakan, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Melalui musik, Fajar Merah melanjutkan perjuangan sang ayah, Wiji Thukul, dalam membuat perubahan di masyarakat.
Meskipun Fajar memiliki cara berbeda dengan sang ayah, namun keduanya menggunakan seni dalam mewujudkan cita-cita perubahan.
“Kalau konteksnya Bapak lebih ke sosial sistem yang besar, lingkaran yang besar. Aku lebih ke sesuatu yang personal, lingkaran kecil dan kami sama-sama mendambakan perubahan,” ungkap Fajar dalam video wawancara dengan Pemimpin Redaksi Kompas.com Wisnu Nugroho yang diunggah Senin (17/5/2021).
Baca juga: Musikalisasi Puisi Wiji Thukul dan Interpretasi Fajar Merah
Fajar mengaku memiliki sifat yang sangat berbeda dengan ayahnya dalam hal aktivisme.
Sejak 1990-an, Thukul dikenal sebagai seniman yang kerap menyuarakan kritik sosial dan melawan penindasan pada masa Orde Baru melalui puisi.
Sementara, sifat Fajar berkebalikan dengan sang ayah. Ia mengistilahkannya, bergerak dalam diam.
"Aku itu manusia yang sangat-sangat pasif, aku bergerak dalam diam, pacifist lebih tepatnya,” ucap Fajar.
Baca juga: Retrospeksi Tragedi Mei 1998: Kekerasan terhadap Perempuan yang Kerap Dilupakan
Melalui seni, Fajar dan Thukul melakukan perubahan dalam kehidupan sehari-hari dengan caranya masing-masing.
Fajar berpandangan, sebuah perubahan tidak akan terjadi apabila seseorang tidak mau mengubah dirinya sendiri.
“Kita sama-sama melakukan perubahan. Tapi mana mungkin perubahan itu bisa terjadi tanpa kita mengubah diri kita sendiri,” ucapnya.
Baca juga: Musik Fajar Merah, Makna Kehidupan dan Penghargaan untuk Wiji Thukul
Fajar ingin menjadi aktivis yang dapat membawa pengaruh bagi orang banyak. Kelak, pandai membawa isu besar dalam perbincangan ringan dan dinikmati masyarakat.
“Mencita-citakan untuk menjadi seorang aktivis yang sangat berpengaruh, dan aku mampu menguasai bagaimana cara berinteraksi dengan orang-orang yang, tidak harus kita ngomong panjang lebar soal hal besar itu,” kata dia.
“Untuk menyederhanakan sebuah kasus yang besar menjadi obrolan yang ringan itu, Itu adalah sebuah cita-cita, masih sebuah cita-cita di situ karena belum bisa sampai di situ,” lanjutnya.
Rangkaian peristiwa Reformasi 1998 tak bisa dilepaskan dari kasus penculikan terhadap para aktivis.
Baca juga: Tragedi Kerusuhan Mei 1998, Kisah Pilu Maria Sanu...
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat ada 13 aktivis yang dihilangkan pada periode 1997-1998, salah satunya Wiji Thukul.
Thukul merupakan seniman dan aktivis yang tergabung dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD). Ia aktif menyampaikan kritik terhadap pemerintahan Presiden Soeharto lewat puisi.
Thukul mengungkapkan berbagai ketidakadilan dan pengingkaran atas harkat serta martabat manusia.
Puisinya menginspirasi masyarakat yang dimarjinalkan untuk bergerak dan memperjuangkan hak-hak mereka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.