Namun, akibat dari mudik hanya sekadar pemuas kesenangan, menghamburkan uang, menunjukkan sikap konsumtif dan hedonis, tradisi mudik yang luhur tak lagi menonjol.
Motivasi mudik lebih terlihat sebagai tindakan dangkal untuk membanggakan diri dan menunjukkan kesuksesan.
Mudik sebagai komunikasi simbolik belum tergantikan oleh teknologi komunikasi yang sangat maju sekalipun. Misalnya, bersilaturahmi dengan menggunakan aplikasi pertemuan virtual di internet. Atau, menghaturkan salam hormat dan sungkem lewat video call.
Penyebabnya adalah berlebaran melalui teknologi belum menjadi kultur masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan. Apalagi teknologi komunikasi memiliki keterbatasan karena menghilangkan kehangatan pertemuan secara fisik.
Ia terbatas dari sisi durasi penggunaan (satu/dua jam). Ia lebih bersifat sebagai suplemen daripada komplemen. Artinya hanya fungsi pelengkap ketimbang pengganti silaturahmi secara fisik.
Namun, bukan berarti mudik tak bisa ditawar. Sebuah tradisi harus membawa kemanfaatan bagi banyak orang.
Ketika situasi darurat belum tertanggulangi, akan lebih bijak jika kita mengganti untuk sementara mudik secara fisik. Selamat ber-Lebaran virtual.
Moehammad Gafar Yoedtadi
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara