Oleh: Moehammad Gafar Yoedtadi
SETIAP menjelang Hari Raya Idul Fitri, pemberitaan media massa akan didominasi dengan laporan kegiatan mudik Lebaran.
Namun, pemberitaan mudik tahun ini memiliki warna berbeda karena aktivitas tersebut dilarang oleh pemerintah. Alasannya, mudik Lebaran 2021 berpotensi meningkatkan jumlah kasus penularan Covid-19 (Kompas, 2021).
Pemerintah secara resmi melarang mudik Lebaran dari 6-17 Mei 2021 melalui Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Covid-19 Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah (Kompas, 2021).
Untuk mengendalikan gelombang mudik, polisi melakukan operasi penyekatan di jalan-jalan yang biasa digunakan pemudik.
Kendati sudah dilarang, tidak sedikit masyarakat yang tetap nekad mudik. Puluhan ribu kendaraan roda empat dan dua diputarbalikan karena tertangkap operasi penyekatan polisi.
Alih-alih mengikuti aturan, banyak pemudik yang tarik urat dengan petugas karena memaksa meneruskan perjalanan. Kenapa orang begitu "ngotot" untuk mudik?
Istilah mudik secara bahasa tercatat di Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan (1990) berarti "Pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari Lebaran".
Dalam ajaran Islam, tradisi mudik tidak dikenal. Seusai melaksanakan puasa selama sebulan penuh, umat Islam hanya diperintahkan mengeluarkan zakat fitrah dan melaksanakan salat Idul Fitri serta dilarang berpuasa pada hari satu Syawal tersebut (Arribathi & Aini, 2018).
Kendati demikian, tradisi mudik Lebaran sudah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Indonesia.
Mudik menjadi fenomena sosio-kultural yang acap kali tak mampu dijelaskan secara rasional. Misalnya, menjawab pertanyaan kenapa orang masih bertekad mudik ketika pandemi Covid-19 belum teratasi.
Para pemudik biasanya adalah mereka yang hijrah ke kota, daerah lain, bahkan negara lain, untuk bertemu kembali dengan keluarga, sanak saudara, kerabat, dan sahabat.
Mudik menjadi kebutuhan kultural. Ia tak hanya sekedar melepas kerinduan pada kampung halaman tetapi mengandung makna yang jauh lebih dalam.
Berbagai alasan dapat disebutkan untuk menjawab pertanyaan mengapa orang pulang mudik lebaran.
Yang pasti, fenomena mudik berkaitan erat dengan tiga alasan kultural, yaitu mengunjungi orang tua dan keluarga, berziarah ke makam keluarga, dan menengok warisan keluarga di kampung halaman (Arribathi & Aini, 2018).