JAKARTA, KOMPAS.com – Kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) saat kerusuhan Mei 1998 hingga kini belum tuntas.
Pada 12 hingga 15 Mei 1998 serangkaian kerusuhan terjadi di sejumlah daerah, termasuk Jakarta.
Kerusuhan ini bermula dari terbunuhnya empat mahasiswa Universitas Trisakti saat menggelar unjuk rasa.
Baca juga: Mengingat Kembali Tragedi Trisakti 12 Mei 1998, Ketika Mahasiswa di Dalam Kampus Ditembaki
Ribuan mahasiswa dari berbagai kampus berunjuk rasa menuntut reformasi dan memaksa Presiden Soeharto untuk mundur.
Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Hartanto, dan Hendriawan Sie meninggal dunia dalam peristiwa yang diingat sebagai Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 itu.
Sehari setelah Tragedi Trisakti, kerusuhan bernuansa rasial meletus. Warga etnis Tionghoa menjadi korban.
Kerusuhan saat itu disertai dengan aksi perusakan, pembakaran, pembunuhan dan pemerkosaan.
Baca juga: Kekerasan terhadap Perempuan, Peristiwa yang Terlupakan Saat Tragedi Mei 1998
Komisioner Komnas Perempuan periode 1998-2006 Ita Fatia Nadia, dalam konferensi pers bersama Amnesty International Indonesia, Rabu (20/5/2020), memberikan kesaksian soal sejumlah laporan kasus kekerasan seksual ketika itu.
"Jadi memang ada penembakan di Trisakti, tetapi ada peristiwa penjarahan yang luar biasa, dan peristiwa penjarahan diikuti dengan penganiayaan, pemerkosaan dan pembunuhan," kata Ita.
Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, setidaknya ada 92 tindakan kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, Medan dan Surabaya.
Sebanyak 53 kasus merupakan tindak perkosaan disertai penganiayaan, 10 kasus penyerangan atau penganiayaan seksual dan 15 kasus pelecehan seksual.
Baca juga: Komnas HAM Desak Aparat Temukan Aktor Aksi Kerusuhan Mei 2019
Menurut Ita, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi saat itu kerap dilupakan oleh banyak orang.
"Kasus ini tidak pernah disinggung oleh aktivis saat ini, apalagi oleh DPR," ucapnya.
Ita menuturkan, ia dan rekannya menerima banyak laporan kasus pemerkosaan terhadap perempuan sejak 12 Mei 1998. Kala itu ia aktif di yayasan perlindungan kekerasan terhadap perempuan Kalyanamitra.
Berdasarkan laporan itu, Ita dan rekannya mendatangi korban. Salah satunya di kawasan Glodok. Ia mengaku kaget saat melihat kondisi korban.