Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ferdian Andi
Peneliti dan Dosen

Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) | Pengajar di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta

Mudik ke Konstitusi, Demokrasi, dan Reformasi

Kompas.com - 12/05/2021, 14:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMERINTAH melalui Surat Edaran Kepala Satgas Covid No 13 Tahun 2021 melarang masyarakat untuk mudik pada libur Lebaran Idul Fitri tahun 2021, 6 – 17 Mei 2021.

Dua minggu sebelum dan setelah rentang waktu tersebut, sebagaimana dalam aturan tambahan, pemerintah melakukan pengetatatan perjalanan bagi warga masyarakat.

Pro dan kontra kebijakan ini mencuat ke publik. Terlebih munculnya sejumlah peristiwa yang paradoksal. Seperti lolosnya warga negara India masuk ke Indonesia di tengah meningginya kasus Covid-19 di negeri Hindustan itu.

Terbaru, masuknya warga negara China dengan alasan untuk kepentingan pengerjaan proyek srtategis nasional di Indonesia.

Di tengah hiruk-pikuk polemik pelarangan mudik, ruang publik juga disuguhkan dengan polemik tes pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji formil UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Delapan dari sembilan hakim MK menilai proses perubahan UU KPK telah sesuai dengan prosedur pembentukan peraturan perundnag-undangan sebagaiana tertuang dalam UU No 12 Tahun 2011.

Hanya terdapat satu hakim MK yang berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan delapan hakim lainnya yakni Wahidudin Adams yang menyatakan terdapat masalah dalam proses perubahan UU KPK tersebut.

Perubahan UU KPK yang dilakukan pada 2019 lalu menimbulkan polemik berkepanjangan di tengah masyarakat.

Demonstrasi dan protes dari sejumlah elemen seperti mahasiswa dan para aktivis masyarakat sipil mencuat di berbagai wilayah di Indonesia.

Proses perubahan dan substansi materi UU KPK dinilai janggal dan memberi dampak konkret terhadap eksistensi KPK.

Ragam persoalan yang belakangan muncul di tengah publik ini sepatutnya menjadi bahan refleksi bersama bagi penyelenggara negara.

Peringatan reformasi 23 tahun lalu pada 21 Mei 1998 dan peringatan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) 76 tahun lalu, 28 Mei – 1 Juni 1945, dapat menjadi momentum yang tepat untuk mudik bersama ke konstitusi, demokrasi, dan reformasi. Terlebih, 1 Juni yang merupakan akhir sidang BPUPK belakangan diperingati sebagai hari lahir Pancasila,

Ikhtiar ini dilakukan semata-mata dimaksudkan agar perjalanan negeri ini tetap dalam jalur yang tepat sebagaimana cita-cita para pendiri bangsa (the founding fathers) yang tertuang dalam konstitusi dengan senantiasa menegakkan prinsip demokrasi dan semangat reformasi.

Kembali ke konstitusi

Dasar dan tujuan negara Indonesia yang termanifestasikan melalui Pancasila harus difungsikan dalam rangka mencapai tujuan bernegara sebagaimana tertuang dalam preambule UUD 1945 yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta turut serta aktif dalam pergaulan dunia berdasarkan prinsip kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dasar dan tujuan negara tersebut dapat dipahami sebagai grundnorm atau staatsfundamentalnorm. (Jimly Asshiddiqie, 2020; 36).

Dasar negara itulah yang sejatinya menjadi cita hukum (rechstidee) dalam rangka membimbing dan memberi pedoman dalam pembentukan norma hukum dalam peraturan perundang-undangan.

Pancasila secara normatif mengatur, isi, bentuk dan susunan serta proses dan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan. (A. Hamid S Attamimi, 1990; 358)

Namun sayangnya, dalam sejumlah peristiwa penting khususnya dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang belakangan mencuat, justru mengabaikan prinsip dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Termasuk materi peraturan perundang-undangan tak sedikit yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena bertentangan dengan konstitusi maupun oleh MA karena bertentangan dengan undang-undang.

Di samping itu, tujuan bernegara yang tertuang dalam preambule UUD 1945 juga harus direalisasikan oleh penyelenggara pemerintahan.

Salah satu pekerjaan rumah yang hingga saat ini belum tertunaikan dengan baik yakni mengenai tugas negara untuk memajukan kesejahteraan umum.

Terlebih di situasi pandemi Covid-19 ini, tantangan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum makin tidak mudah.

Maka tak ada pilihan lain, penyelenggara negara harus kembali ke konstitusi dengan menunaikan amanat konstitusi secara keseluruhan serta memastikan jalannya penyelenggaraan negara sesuai dengan norma dasar dalam bernegara.

Supremasi konstitusi adalah upaya nyata agar perjalanan bangsa ini tetap berada di jalur yang benar.

Jati diri reformasi dan demokrasi

Sejumlah peristiwa penting yang belakangan muncul harus menjadi renungan bersama tentang arah perjalanan bangsa ini.

Reformasi 1998 menjadi pemicu demokratisasi di Indonesia. Perubahan penting terjadi: amandemen konstitusi, penataan lembaga-lembaga negara, termasuk melakukan dwifungsi ABRI.

Praktik demokrasi melalui pelaksanaan pemilihan langsung dari tingkat pusat hingga daerah baik untuk eksekutif maupun legislatif telah berjalan sejak reformasi lalu.

Namun dalam praktiknya, politik elektoral tersebut tidak linier antara aspirasi pemilih dengan pemimpin yang dipilih dalam perumusan kebijakan publik.

Peristiwa penting yang belakangan muncul seperti polemik penyusunan UU Cipta Kerja (omnibus law), perubahan UU KPK, serta berbagai polemik kebijakan publik menimbulkan tanya besar: apa makna demokrasi yang secara periodik dilakukan melalui pemilu ini?

Aspirasi masyarakat yang tertuang dalam berbagai medium dalam kenyataannya tak sepenuhnya diwujudkan dalam bentuk kebijakan publik.

Jika merujuk data The Economist Intelegence Unit (EIU) dengan sejumlah indikator seperti proses elektoral dan pluarlisme, keberfungsian pemerintah, partisipasi politik, kultur politik serta kebebasan sipil, Indonesia berada dalam kategori demokrasi cacat (flawed democracy). Pada 2020 skor indeks demokrasi di Indonesia sebesar 6.3 turun dibanding tahun sebelumnya di skor 6.48.

Belum lagi, praktik koruptif penyelenggara negara di tingkat pusat hingga daerah yang demonstratif. Pemberantasan korupsi yang dilakukan sejak reformasi bergulir hingga kini belum terbentuk formula yang sistemik untuk menghentikan korupsi di lingkungan penyelenggara negara.

Alih-alih terbangun sistem antikorupsi yang sistemik, belakangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru berada dalam titik krusial.

Perubahan UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No 30 Tahun 2002 telah mengondisikan postur KPK berubah dari sebelumnya.

Padahal, persoalan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) menjadi salah satu isu sentral dalam gerakan reformasi 1998 silam.

Aspirasi tersebut tertuang melalui penerbitan Ketetapan MPR (Tap MPR) No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Selama 23 tahun berselang setelah reformasi, praktik KKN justru vulgar di permukaan. Praktik jual beli jabatan hingga yang paling ironi korupsi bantuan sosial terjadi di masa pandemi ini.

Capaian indeks persepsi korupsi (KPK) Indonesia pada 2020 lalu juga turun tiga poin berada di poin 37 melorot bila dibandingkan setahun sebelumnya di poin 40. Sedangkan peringkat Indonesia berada di 102 dari 108 negara yang disurvei.

Temuan indeks pengukuran di sektor demokrasi dan korupsi di Indonesia harus menjadi catatan penting bagi penyelenggara negara untuk melakukan perbaikan secara signifikan dan sistemik.

Catatan Steven Levitsky & Daniel Ziblatt dalam How Democaries Die (2018) tentang praktik erosi demokrasi yang terjadi secara perlahan dan terkesan tidak mengancam demokrasi dengan menggunakan instrumen legal, harus kita hindari bersama agar tidak terjadi di Indonesia.

Kembali pada cita-cita para pendiri bangsa dan jatidiri reformasi dan demokrasi merupakan hakikat dari esensi mudik yang sesungguhnya. Langkah ini penting sebagai cara untuk mengukuhkan Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Nasional
Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Nasional
Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Nasional
Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup: Pilih Partai, Bukan Caleg

Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup: Pilih Partai, Bukan Caleg

Nasional
KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

Nasional
Pengamat Heran 'Amicus Curiae' Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Pengamat Heran "Amicus Curiae" Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Nasional
Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Nasional
Marak 'Amicus Curiae', Pakar: Jadi Pertimbangan Hakim MK untuk Gali Rasa Keadilan dalam Masyarakat

Marak "Amicus Curiae", Pakar: Jadi Pertimbangan Hakim MK untuk Gali Rasa Keadilan dalam Masyarakat

Nasional
Menpan-RB Setujui 40.839 Formasi CASN Kemensos demi Kuatkan Layanan Sosial Nasional

Menpan-RB Setujui 40.839 Formasi CASN Kemensos demi Kuatkan Layanan Sosial Nasional

Nasional
Prabowo Disebut Sudah Minta AHY Berikan Nama Kader Demokrat untuk Masuk Kabinet Mendatang

Prabowo Disebut Sudah Minta AHY Berikan Nama Kader Demokrat untuk Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Pangkoarmada I Akan Buat Kajian agar Kapal Patroli yang Dibeli dari Italia Ditempatkan di Wilayahnya

Pangkoarmada I Akan Buat Kajian agar Kapal Patroli yang Dibeli dari Italia Ditempatkan di Wilayahnya

Nasional
Pakar: 'Amicus Curiae' untuk Sengketa Pilpres Fenomena Baru

Pakar: "Amicus Curiae" untuk Sengketa Pilpres Fenomena Baru

Nasional
Densus 88 Polri Kembali Tangkap 1 Teroris Jaringan JI di Sulteng, Totalnya Jadi 8

Densus 88 Polri Kembali Tangkap 1 Teroris Jaringan JI di Sulteng, Totalnya Jadi 8

Nasional
Yusril Tertawa Ceritakan Saksi Ganjar-Mahfud Bawa Beras 5 Kg untuk Buktikan Politisasi Bansos

Yusril Tertawa Ceritakan Saksi Ganjar-Mahfud Bawa Beras 5 Kg untuk Buktikan Politisasi Bansos

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Karangan Bunga Bernada Sindiran Muncul di MK

Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Karangan Bunga Bernada Sindiran Muncul di MK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com