JAKARTA, KOMPAS.com - Sosok Raden Ajeng Kartini yang kini dikenal sebagai pahlawan nasional dan tokoh emansipasi perempuan rupaya memiliki perhatian khusus terhadap persoalan korupsi pada zamannya.
Melalui surat-surat yang ia tulis, ia mengutuk praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara ketika itu.
"Kejahatan yang memang ada atau lebih baik yang merajalela ialah hal menerima hadiah yang saya anggap sama jahat dan hinanya dengan merampas barang-barang milik rakyat kecil," demikian tulis Kartini pada sahabat penanya, Estella Zeehandelar, di Belanda, 12 Januari 1900.
Baca juga: Siti Nadia Tarmizi, Ratusan Pertanyaan dan Semangat Pantang Menyerah Kartini
Walaupun mengutuk, Kartini menilai, korupsi pada zamannya itu lebih 'manusiawi'.
Sebab, korupsi dilakukan tidak semata-mata karena sifat korup sang pejabat tetapi juga karena sistem pemerintahan yang belum mapan.
Kartini menuturkan, ada pegawai-pegawai golongan rendah yang terpaksa melakukan praktik korupsi demi memenuhi kebutuhan hidup mereka akibat rendahnya gaji yang mereka terima.
"Tetapi, saya tidak boleh hanya menyalahkan hanya berdasarkan kenyataan-kenyataan begitu saja. Saya juga harus memperhatikan keadaan para pelaku kejahatan itu," tulis Kartini.
"Menerima hadiah-hadiah itu dilarang oleh pemerintah bagi pegawai-pegawai. Tetapi, kepala-kepala Bumiputera adalah golongan rendah yang digaji sedikit sekali sehingga hampir merupakan suatu keajaiban bagaimana mereka mencukupi keperluan hidup dengan gaji yang sedikit itu," kata dia.
Nasib juru tulis, kerja sampai bongkok, gaji tak seberapa
Kartini juga mencontohkan nasib juru tulis distrik yang disebutnya mesti bekerja sampai punggungnya bongkok tetapi tidak mendapat gaji yang layak.
Baca juga: MA Kabulkan Permohonan PK Terpidana Korupsi Djoko Susilo
Hal itu dinilai ironis karena para juru tulis dihadapkan pada gaya hidup pemerintahan yang cukup mewah kala itu karena menyesuaikan dengan orang Belanda, sehingga, para juru tulis harus membiayai keluarga, membayar sewa rumah, serta berpakaian rapi dan bersih.
Intinya, tulis Kartini, mereka harus menunjukkan kecukupan lahiriah demi menjunjung tinggi martabat golongan dibanding mereka yang bergolongan lebih rendah, rakyat jelata.
Akibatnya, kata Kartini, para juru tulis itu akhirnya menerima suap.
Kartini menulis, awalnya saat pertama atau kedua kali diberi setandan pisang oleh penyuap, mereka masih bisa menolak.
Akan tetapi, ketika dicoba diberi untuk ketiga hingga keempat kalinya, mereka mulai bimbang hingga menerimanya tanpa ragu.