JAKARTA, KOMPAS.com - Pelabelan teroris terhadap Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dinilai bukan menjadi jalan pintas guna mengakhiri bara konflik Papua.
Sebaliknya, pelabelan ini diyakini menjadi bukti konkret jika pemerintah sudah menemui titik buntu dalam menyelesaikan siklus kekerasan di Bumi Cendrawasih.
"Langkah yang diambil pemerintah melalui pelebelan tersebut sejatinya menunjukkan kegagapan dan kebuntuan ide pemerintah dalam upaya penyelesaian konflik Papua," ujar Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf, sebagai perwakilan koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (6/5/2021).
Dalam upaya penyelesaian itu, kata Araf, pelabelan tersebut justru semakin mempertegas pendekatan keamanan (state-security), alih-alih membangun dialog Jakarta-Papua secara damai dan bermartabat.
Tak hanya itu, pelabelan itu juga mengabaikan pendekatan keamanan manusia (human security) yang sejatinya dibutuhkan dalam penyelesaian konflik Papua.
Sejalan dengan itu, kebijakan penetapan KKB sebagai teroris diyakini sama sekali tidak menyentuh akar masalah konflik Papua.
Baca juga: KKB Menebar Teror, Lepaskan Tembakan, 100 Warga Berlindung di Kantor Bupati
Berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dipublikasikan dalam Papua Road Map (2008), setidaknya terdapat empat sumber konflik Papua.
Antara lain, (a) sejarah integrasi, status dan integritas politik, (b) kekerasan politik dan pelanggaran HAM, (c) kegagalan pembangunan, dan (d) marginalisasi orang Papua dan inkonsistensi kebijakan otonomi khusus.
Mengacu kepada kompleksitas akar permasalahan tersebut, lanjut Araf, diperlukan upaya yang bersifat komprehensif dan menyeluruh dalam penyelesaian konflik Papua.
Araf menyatakan bahwa kebijakan yang hanya mengedepankan pendekatan keamanan atau pendekatan ekonomi tidak akan menyentuh akar permasalahan.
"Justru akan berpotensi membentuk gejolak sosial-politik yang terus berulang di masa depan," tegas dia.
Araf menambahkan, pelabelan teroris terhadap KKB juga membuka jalan terbentuknya pelembagaan rasisme dan diskriminasi berkelanjutan atas warga Papua secara umum.
Hal ini dapat dimungkinkan mengingat ketidakjelasan definisi "KKB" serta siapa saja yang termasuk di dalamnya.
Baca juga: Pelabelan Teroris pada KKB Dinilai Tak Akan Bermasalah di Dunia Internasional
Fakta tersebut pun dapat memungkinkan akan semakin menyakiti perasaan masyarakat Papua, memperkuat stigma, mengikis rasa percaya masyarakat Papua kepada pemerintah yang merupakan prasyarat penting bagi upaya penyelesaian konflik secara damai.
"Serta justru menghambat operasi keamanan yang sejatinya membutuhkan dukungan dan kepercayaan rakyat setempat," imbuh dia.