JAKARTA, KOMPAS.com - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyebutkan, sejak peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2020, FSGI telah mendesak pemerintah segera membuat skenario pelayanan dan penyelenggaraan pendidikan nasional di masa krisis Covid-19.
Wakil Sekretaris Jenderal FSGI, Mansur mengatakan, desakan itu sejalan dengan tema “Belajar dari Covid-19” yang diusung Kemendikbud saat itu untuk menjalankan pendidikan di masa pandemi.
Namun, menurut dia, sampai hari ini, kebijakan belajar dari rumah (BDR) dan pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pandemi masih berlangsung dengan krisis, bahkan kebijakan yang dibuat belum mampu mengatasi krisis tersebut.
"Kemendikbud seperti tak berdaya dan kebingungan mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dari kebijakan BDR atau PJJ," kata Mansur dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Minggu (2/5/2021).
Baca juga: Kemendikbud Ristek Diminta Cermati Angka Putus Sekolah dan Efektivitas PJJ
Menurut Mansur, tema Hari Pendidikan Nasional "Serentak Bergerak, Wujudkan Merdeka Belajar" pada tahun 2021 ini, malah terlihat sebagai beberapa gerakan besar ke arah yang berbeda.
"Program guru penggerak yang kami nilai akan menjadi jurus ampuh menuju merdeka belajar yang sangat dibutuhkan disaat pandemi, ternyata hanyalah pelatihan ribuan calon guru penggerak yang melibatkan ratusan fasilitator," kata Mansur.
"Namun hasilnya, satu tahun kemudian pendidikan kita keburu tenggelam di masa pandemi ini," ucap dia.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo menilai, Kemendikbud seperti kehabisan akal untuk menghadapi kendala BDR atau PJJ selama masa pandemi Covid-19.
Baca juga: Nadiem Beberkan Dampak Satu Tahun Pembelajaran Jarak Jauh: Anak Putus Sekolah hingga Kesenjangan
Meskipun serangkaian kebijakan telah dibuat, menurut dia, hingga April 2021 tampak belum menunjukkan hasil sebagaimana diharapkan.
Justru, FSGI melihat angka putus sekolah malah bertambah dan peserta didik dari keluarga miskin nyaris tidak terlayani karena ketiadaan alat daring.
"Kekeliruan dari awal adalah, Kemendikbud menjadikan BDR menjadi PJJ daring yang bertumpu pada internet, padahal disparitas digital sangat lebar antardaerah di Indonesia," kata Heru.
Selain itu, menurut dia, program belajar dari rumah tidak efektif karena terlalu bertumpu kepada internet sehingga kebijakan yang dibuat adalah pemberian bantuan kuota pada pendidik dan peserta didik.
Baca juga: Setahun Covid-19 di Indonesia: Refleksi Pembelajaran Jarak Jauh dan Harapan Tatap Muka Lagi
Namun, pemberian bantuan kuota itu tidak disertai dengan pemetaan kebutuhan kuota yang beragam.
"Peserta didik dari keluarga miskin yang tidak memiliki gawai dan wilayah blank spot tidak dapat menikmati bantuan kuota internet dan mereka tetap saja tidak terlayani PJJ," ucap Heru.
Heru menilai, kegagalan Kemendikbud dalam menangani dampak buruk BDR atau PJJ dengan melakukan relaksasi SKB 4 Menteri yang akan membuka sekolah tatap muka serentak pada Juli 2021 justru memiliki risiko yang lain.
Sebab, hingga saat ini pandemi Covid-19 belum mampu dikendalikan oleh pemerintah.
Pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) bagi Kemendikbud, kata dia, adalah cara ampuh mengatasi permasalahan pendidikan di masa pandemi.
"Padahal ini hanya 'kemalasan berpikir mencari terobosan lain' dan dapat menimbulkan permasalahan lain, misalnya ledakan kasus Covid-19 jika pembukaan sekolah tidak disertai kesiapan dan perlindungan berlapis untuk peserta didik dan pendidik," kata Heru.
"Sudah banyak kasus Covid setelah satuan pendidikan menggelar PTM," ucap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.