JAKARTA, KOMPAS.com - Memperingati Hari Buruh Sedunia yang jatuh pada Sabtu (1/5/2021) ini, massa buruh dari berbagai konfederasi dan serikat menggelar aksi unjuk rasa di sejumlah daerah.
Salah satu tuntutan buruh yaitu meminta pemerintah mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020.
Sejak pembahasannya dimulai DPR dan pemerintah pada tahun lalu, UU Cipta Kerja memang menuai kritik, baik dari kalangan buruh maupun akademisi.
Baca juga: Saat Buruh Jaga Jarak dalam Unjuk Rasa Protes UU Cipta Kerja
Selain materinya yang dianggap merugikan pekerja, proses penyusunannya dianggap bermasalah.
Namun, pemerintah dan DPR bergeming. Pembahasan UU Cipta Kerja terus dilanjutkan, hingga akhirnya disahkan pada Oktober 2020.
Setelah disahkan, banyak pihak yang mengajukan pengujian formil dan materiil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka di antaranya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani serta Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Indonesia Human Right Comitte For Social Justice (IHCS).
Baca juga: Demo di Istana dan Gedung MK, Massa Buruh Akan Buat Kuburan Massal Korban Omnibus Law
Berikut ini sejumlah poin dalam UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan pekerja:
1. Sistem kerja kontrak
Dalam UU Cipta Kerja, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak dibatasi periode dan batas waktu kontrak.
Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 59 pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja menyebut, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Penggunaan frasa "tidak terlalu lama" mengubah ketentuan soal batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya "tiga tahun" sebagai salah satu kriteria PKWT.
Hal ini diyakini akan membuat pengusaha leluasa menafsirkan frasa "tidak terlalu lama" dan makin menipisnya kepastian kerja bagi buruh.
Baca juga: PP Turunan UU Cipta Kerja: Kini Pekerja PKWT Bisa Dikontrak hingga 5 Tahun
Demikian juga perpanjangan PKWT yang kemudian diatur Peraturan Pemerintah (PP).