Sejak pemerintah mengumumkan Nadia sebagai salah satu dari lima Jubir Vaksinasi Covid-19 pada Desember 2020 lalu, Nadia mengaku jadwal Nadia mengakui tidak bisa lepas dari ponsel pintarnya.
Sebab, ponsel pintar itu membantunya menyelesaikan tugas-tugas di Kemenkes maupun sebagai juru bicara vaksinasi.
Mulai dari berkoordinasi dengan Menteri Kesehatan selaku atasan, Satgas Penanganan Covid-19, kolega yang sama-sama menangani pandemi Covid-19 baik pusat maupun daerah hingga awak media.
Namun, Nadia menyebutkan bahwa saat ini berkomunikasi dengan media mengambil porsi besar dalam kegiatannya sehari-hari.
Baca juga: Albertina Ho yang Enggan Dijuluki Srikandi Hukum Indonesia...
Sambil bercanda, Nadia mengatakan bahwa dia kini sudah hafal jam kerja untuk televisi, radio, media online hingga media cetak.
"Biasanya sejak pukul 05.30 WIB saya standby untuk televisi, sampai pukul 06.30 WIB. Setelah itu standby untuk radio pukul 07.00 WIB sampai pukul 10.00 WIB," ungkapnya.
"Setelah itu, baru menjawab pertanyaan rekan-rekan media online dan media cetak. Siang, sore hingga malam biasanya standby untuk televisi dan radio lagi," lanjut alumni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1996 ini.
Nadia kini bahkan menyadari, setiap media memiliki kebutuhan dan karakter berbeda.
Dia mencontohakan, pertanyaan media cetak dan media online harus dijawab tepat waktu karena ada deadline dari redaksi setiap harinya.
Sementara itu, untuk televisi dan radio, ada jam tayang tertentu yang membuatnya harus standby sesuai jadwal.
Sejak kecil, Nadia telah memiliki cita-cita untuk menjadi dokter.
Dia mengaku terinspirasi dari salah seorang tantenya yang merupakan dokter spesialis anak.
Nadia kagum dengan kerja dokter yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit sekaligus memberikan resep obat untuk membantu penyembuhan.
"Saya pikir hebat sekali dokter. Bisa menyembuhkan penyakit, tahu obatnya apa. Kira-kira bagaimana cara kerjanya ya ?," ujarnya.
Baca juga: Kartini dan Mimpi Ajarkan Kesetaraan ke Anak-anaknya...
"Rasa penasaran itu kemudian mendorong cita-cita saya untuk jadi dokter tidak berubah sejak SD, SMP higga SMA," tuturnya.
Nadia kemudian masuk ke FK UI dan lulus pendidikan dokter pada 1996.
Usai lulus, dia diwajibkan untuk bekerja di fasilitas kesehatan di daerah.
"Saya mengawali di sebuah Puskesmas kecamatan yang berada di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan," kata istri Guru Besar Universitas Indonesia Budi Wiweko ini.
Dari sana, dia mulai akrab dengan persoalan kesehatan masyarakat.
Saat bertugas di kecamatan, dia bertanggungjawab terhadap kesehatan sejumlah desa.
Tak jarang, dia pergi ke desa-desa terpencil untuk memberikan penyuluhan penyakit, menbawa obat-obatan maupun makanan tambahan.