JAKARTA, KOMPAS.com - Mengajarkan tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan. Itulah yang ingin diwariskan Raden Ajeng Kartini kepada anak-anaknya. Ajaran tentang kesetaraan.
Kartini ingin anak-anaknya memahami bahwa laki-laki dan perempuan seharusnya saling memandang sebagai makhluk yang setara. Ia juga ingin memberi pendidikan yang sama tinggi.
Kartini memang hidup di suatu masa ketika bangsa ini berada dalam cengkeraman asing.
Jawa di masa kolonial bukan tempat yang terang benderang bagi ilmu pengetahuan. Apalagi, bagi kaum perempuan.
Baca juga: Kartini, Raden Ajeng yang Kesal Dipanggil dengan Gelar Bangsawannya
Adat istiadat juga seakan mengatakan bahwa perempuan baik adalah yang berbakti kepada keluarga dan suaminya.
Mimpi sekaligus keresahan ini Kartini ungkap dalam surat-suratnya kepada para sahabat pena.
"Jalan hidup anak perempuan Jawa telah dibatasi dan dibentuk menurut satu pola yang sama. Kami tidak boleh bercita-cita," tulis Kartini dalam suratnya kepada salah seorang sahabat pena, Stella Zeehandelaar, 23 Agustus 1900.
Petikan surat tersebut dikutip dari buku Surat-surat Kartini. Renungan tentang dan untuk Bangsanya (1979).
Dalam suratnya, Kartini juga mengungkap bahwa satu-satunya yang boleh dimimpikan kaum perempuan ialah bahwa hari ini, mungkin juga esok, akan menjadi istri yang kesekian bagi salah seorang lelaki.
Namun, Kartini tak ingin terbelenggu akan hal itu. Yang ia inginkan ialah kesetaraan.
Maka, dalam suratnya Kartini menuliskan cita-citanya untuk menghapuskan batas antara laki-laki dan perempuan.
Keinginannya ialah mengajarkan pemikiran tersebut dari mulai yang terdekat, yakni putra-putrinya.
"Untuk membuat anak gadis menjadi perempuan baru misalnya saya tidak akan memaksanya untuk belajar, apabila dia tidak menyukai dan tidak berbakat..." tulis Kartini dalam surat.
"Tetapi untuk mengurangi haknya dengan mendahulukan kakaknya yang laki-laki, tidak akan! Lagi pula saya bermaksud akan menghapuskan batas yang menggelikan antara laki-laki dan perempuan yang dibuat orang dengan cermatnya," lanjutnya.
Kartini yakin, hilangnya batasan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya akan berakibat baik bagi perempuan, tetapi juga lelaki.
Ia percaya, laki-laki beradab dan terpelajar tidak akan dengan sengaja menjauhi perempuan yang sederajat.
Pemikiran-pemikiran Kartini lahir karena ketidaknyamanannya pada tradisi masyarakat Jawa yang kala itu tak memberi kesempatan pada perempuan untuk mendapat pendidikan.
Padahal, Kartini berasal dari keluarga yang cenderung lebih terbuka. Meski dilarang melanjutkan sekolah dan dipingit saat usia akil balig, Kartini tetap diberi kesempatan untuk belajar di rumah.
Sang Ayah tak melarang Kartini memperluas pengetahuannya. Bersama kedua adiknya, Kartini diperbolehkan mempelajari bahasa Prancis dari buku-buku kecil Servaas de Bruyn.
Ayahnya bahkan menghadiahi Kartini dan sang adik kursus bahasa Jerman. Sebelumnya, Kartini juga menginginkan belajar bahasa Inggris.
Sebagai seorang anak, Kartini lebih mendahulukan keluarga daripada impiannya. Kartini tidak ingin menyakiti hati ayahnya.
"Bila Ayah menahan saya untuk berbuat bakti itu, betapa pun hati saya meratap menangis, saya akan menyerah dengan tawakal! Saya tidak sampai hati untuk lebih melukai lagi, untuk lebih membuat remuk redam lagi hati Ayah, hati yang setia, yang demikian hangat berdenyut bagi saya," tulis Kartini.
Baca juga: Dilema Kartini, Perempuan yang Menuntut Pendidikan Setara dan Pentingnya Peran Ibu
Sebagai simbol perempuan yang memperjuangkan kesetaraan, Kartini tidak begitu saja meninggalkan keluarga demi meraih impiannya.
Kartini sebagai simbol perempuan modern, justru melakuan kritik terhadap modernisme itu sendiri.
Kini, Kartini dikenang sebagai pejuang dan pelopor kemajuan perempuan Indonesia. Nama Kartini besar lewat pemikiran, ide, dan gagasannya soal kesetaraan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.