Ia percaya, laki-laki beradab dan terpelajar tidak akan dengan sengaja menjauhi perempuan yang sederajat.
Pemikiran-pemikiran Kartini lahir karena ketidaknyamanannya pada tradisi masyarakat Jawa yang kala itu tak memberi kesempatan pada perempuan untuk mendapat pendidikan.
Padahal, Kartini berasal dari keluarga yang cenderung lebih terbuka. Meski dilarang melanjutkan sekolah dan dipingit saat usia akil balig, Kartini tetap diberi kesempatan untuk belajar di rumah.
Sang Ayah tak melarang Kartini memperluas pengetahuannya. Bersama kedua adiknya, Kartini diperbolehkan mempelajari bahasa Prancis dari buku-buku kecil Servaas de Bruyn.
Ayahnya bahkan menghadiahi Kartini dan sang adik kursus bahasa Jerman. Sebelumnya, Kartini juga menginginkan belajar bahasa Inggris.
Sebagai seorang anak, Kartini lebih mendahulukan keluarga daripada impiannya. Kartini tidak ingin menyakiti hati ayahnya.
"Bila Ayah menahan saya untuk berbuat bakti itu, betapa pun hati saya meratap menangis, saya akan menyerah dengan tawakal! Saya tidak sampai hati untuk lebih melukai lagi, untuk lebih membuat remuk redam lagi hati Ayah, hati yang setia, yang demikian hangat berdenyut bagi saya," tulis Kartini.
Baca juga: Dilema Kartini, Perempuan yang Menuntut Pendidikan Setara dan Pentingnya Peran Ibu
Sebagai simbol perempuan yang memperjuangkan kesetaraan, Kartini tidak begitu saja meninggalkan keluarga demi meraih impiannya.
Kartini sebagai simbol perempuan modern, justru melakuan kritik terhadap modernisme itu sendiri.
Kini, Kartini dikenang sebagai pejuang dan pelopor kemajuan perempuan Indonesia. Nama Kartini besar lewat pemikiran, ide, dan gagasannya soal kesetaraan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.