Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemerdekaan Indonesia dan Toleransi Para Pemimpin Islam

Kompas.com - 21/04/2021, 18:49 WIB
Rakhmat Nur Hakim

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Proklamasi kemerdekaan RI yang berlangsung pada 17 Agustus 1945 atau bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 Hijriah menyisakan ketegangan baru.

Usai kemerdekaan diproklamirkan, pembukaan UUD 1945 yang sebelumnya telah disepakati sebagai Piagam Jakarta kemudian dipermasalahkan.

Sore hari usai memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, Bung Hatta menerima telepon dari Nishiyama, pembantu Laksamana Maeda yang rumahnya dijadikan tempat menyusun naskah proklamasi.

Baca juga: Piagam Jakarta: Isi dan Kontroversinya

Nishiyama lantas menyampaikan maksudnya untuk datang ke rumah Bung Hatta. Bung Hatta pun mempersilakan perwira tentara Jepang itu berkunjung ke rumahnya.

Saat tiba di rumah Bung Hatta, Nishiyama turut membawa rekannya yang juga tentara Jepang. Rupanya Nishiyama hendak mengantarkan rekannya  itu untuk menyampaikan sesuatu kepada Bung Hatta.

Rekan Nishiyama itu lalu menyampaikan, ia didatangi sejumlah perwakilan Kristen dan Katolik yang keberatan terhadap bagian kalimat dalam pembukaan UUD yang berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".

Para perwakilan Kristen dan Katolik menyadari bagian kalimat itu tak diperuntukkan bagi mereka. Namun mereka merasa ada unsur diskriminasi terhadap golongan minoritas di  dalam UUD 1945 jika kalimat tersebut dipertahankan.

Hatta lalu menjawab kalimat tersebut bukanlah bentuk diskriminasi. Ia mengatakan AA Maramis sebagai perwakilan Kristen dan Katolik yang ikut serta dalam Panitia Sembilan juga tak menunjukkan keberatan dengan menandatangani Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945.

Namun rekan Nishiyama kembali meyakinkan Bung Hatta bahwa bisa terjadi perpecahan jika bagian kalimat tersebut dipertahankan. 

Baca juga: Kedudukan Pembukaan UUD 1945

Bung Hatta pun mulai memikirkan dampak dari kalimat tersebut jika dipertahankan. Ia khawatir nantinya benar-benar terjadi perpecahan antargolongan. Bung Hatta lalu meminta pihak yang dekat dengan kalangan Kristen dan Katolik mendinginkan suasana.

Esoknya sebelum sidang BPUPKI pada 18 Agustus 1945, Bung Hatta menghampiri sejumlah tokoh Islam yakni Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan.

Bung Hatta lantas menyampaikan maksudnya untuk menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta sebagaimana yang diprotes golongan Kristen dan Katolik sebagai kelompok minoritas di republik.

Namun Ki Bagus Hadikusumo menolak usulan tersebut. Sebab, tujuh kata tersebut merupakan kesepakatan bersama yang telah dicapai pada rapat Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yakni pada 22 Juni 1945.

Kasman dan Ki Bagus Hadikusumo sama-sama representasi dari Muhammadiyah. Karena itu Bung Hatta meminta Kasman meluluhkan hati Ki Bagus Hadikusumo supaya menerima usulan penghapusan tujuh kata terkait syariat Islam.

Baca juga: Hubungan Proklamasi dan Pembukaan UUD 1945

 

Mantan anggota DPD DKI Jakarta yang pernah menjadi sekretaris pribadi Kasman, AM Fatwa, mengungkapkan bahwa waktu itu Kasman berbicara empat mata dengan Ki Bagus Hadikusumo.

Sebab, dua utusan sebelumnya yang juga mewakili golongan Islam, yakni Teuku Muhammad Hasan dan KH Wahid Hasyim, gagal membujuk Ki Bagus Hadiksumo. Kasman pun sejatinya merupakan perwakilan dari golongan Islam.

"Namun Pak Kasman sama sekali tak menganggap Pancasila bertentangan dengan Islam, bagi Beliau, Pancasila merupakan bagian dari Islam," ujar Fatwa saat diwawancarai di kediamannya di bilangan Jakarta Selatan, Minggu (19/6/2016).

Atas dasar itulah Kasman meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo. Bahwasanya, penghapusan kewajiban menjalankan syariat Islam, dan diganti dengan frase Ketuhanan Yang Maha Esa tetap mewakili aspirasi umat Islam Indonesia.

Kasman menjelaskan kepada Ki Bagus Hadikusumo bahwa makna dari Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan ketundukan umat Islam kepada Allah SWT.

"Di samping itu Pak Kasman juga mendudukkan situasinya kepada Ki Bagus Hadikusumo bahwa saat itu kondisi memang sedang genting karena masih ada tekanan dari Jepang dan sekutu," tutur Fatwa.

Baca juga: Kedudukan Pembukaan UUD 1945

 

"Indonesia saat itu butuh UUD sesegara mungkin sebagai syarat berdirinya negara agar diakui oleh pihak internal maupun eksternal. Enam bulan kemudian ada kesempatan untuk merevisinya lagi, itu yang diucapkan Pak Kasman," ujar Fatwa.

Argumentasi Kasman tersebut berhasil meluluhkan hati Ki Bagus Hadikusumo. UUD 1945 saat itu pun berhasil disahkan berkat kebesaran hati golongan Islam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Nasional
Jaga Independensi, MK Sembunyikan Karangan Bunga yang Sindir Sengketa Pilpres 2024

Jaga Independensi, MK Sembunyikan Karangan Bunga yang Sindir Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak pada Etika Kenegaraan

Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak pada Etika Kenegaraan

Nasional
Kemenlu: Indonesia Sesalkan DK PBB Gagal Sahkan Resolusi Keanggotaan Penuh Palestina

Kemenlu: Indonesia Sesalkan DK PBB Gagal Sahkan Resolusi Keanggotaan Penuh Palestina

Nasional
Yusril Prediksi MK Tak Diskualifikasi Gibran

Yusril Prediksi MK Tak Diskualifikasi Gibran

Nasional
Soal Besaran Tunjangan ASN yang Pindah ke IKN, Pemerintah Tunggu Jokowi

Soal Besaran Tunjangan ASN yang Pindah ke IKN, Pemerintah Tunggu Jokowi

Nasional
MK Bantah Ada Bocoran Putusan Sengketa Pilpres

MK Bantah Ada Bocoran Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
Marinir Indonesia-AS Akan Kembali Gelar Latma Platoon Exchange Usai 5 Tahun Vakum

Marinir Indonesia-AS Akan Kembali Gelar Latma Platoon Exchange Usai 5 Tahun Vakum

Nasional
Ingin Pileg 2029 Tertutup, Kaesang: Supaya “Amplop”-nya Enggak Kencang

Ingin Pileg 2029 Tertutup, Kaesang: Supaya “Amplop”-nya Enggak Kencang

Nasional
PSI Akan Usung Kader Jadi Cawagub Jakarta dan Wali Kota Solo

PSI Akan Usung Kader Jadi Cawagub Jakarta dan Wali Kota Solo

Nasional
Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Nasional
Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Nasional
Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Nasional
Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup: Pilih Partai, Bukan Caleg

Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup: Pilih Partai, Bukan Caleg

Nasional
KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com