LAKI-LAKI tua itu duduk di dekat pagar rumahnya. Ia mengenakan oblong berwarna gelap dan kain sarung. Sebatang rokok kretek yang sudah menyala terselip di antara jari tengah dan telunjuknya.
Seseorang di hadapannya kemudian bertanya kepada laki-laki itu.
"Bapak masing ingat buku-buku yang hilang dan judul-judul yang dikarang dan tidak ada lagi?" tanya dia.
Bahasa Indonesianya tidak begitu lancar. Dari logat bicara yang terbata, tampaknya ia adalah Bernie IJdis.
Bernie merupakan seorang sutradara berkebangsaan Belanda. Ia membuat dokumenter berjudul De Groote Postweg atau Jalan Raya Pos.
Baca juga: Kartini dan Pemikiran tentang Perempuan Berani, Mandiri, dan Penuh Perjuangan...
Salah satu narasumbernya sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer (6 Februari 1925 - 30 April 2006).
"Ya judul-judulnya… Misalnya, Panggil Aku Kartini Saja. Itu yang terbit dua jilid, yang hilang dirampas Orba (Orde Baru)," jawab Pramoedya.
Panggil Aku Kartini Saja merupakan salah satu karya Pram mengenai sejarah perempuan Indonesia.
Peneliti Savitri Scherer, dalam Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam Ideologi (Komunitas Bambu, 2012), menyebut karya itu sebagai kajian sosial dan historis tentang feminis terkemuka dan pemikir nasionalis awal.
Menurut dia, Pramoedya telah meneliti tokoh perempuan asal Jepara itu, antara 1956 sampai 1961.
Baca juga: Kandasnya Cita-cita Kartini dan Perjuangannya yang Relevan hingga Kini
Judul buku itu merupakan kata-kata perpisahan Kartini kepada salah satu sahabat penanya, Stella Zeehandelaar, dalam surat bertanggal 25 Mei 1899.
Savitri menulis, Pramoedya berpandangan bahwa ide-ide progresif Kartini disebabkan oleh respons atas hierarki dan adat diskriminatif lingkungan feodalnya, bukan karena pertukaran ide dengan teman-temannya di Eropa.
Pramoedya menguraikan fakta sifat feodal pengaturan rumah tangga bupati. Kartini adalah putri dari istri kedua bupati.
Istri dari kaum jelata memiliki tempat sendiri di luar bangunan utama. Situasi seperti ini, menurut Savitri, dalam kasus Kartini tentunya telah mengundang ketidaksenangan pada berbagai persyaratan yang mencengkeram.
Baca juga: Perseteruan Hamka dan Pramoedya Ananta Toer hingga Berdamai lewat Islam
Demi penghormatan bagi sesuatu yang semu, sehingga membangkitkan pemikiran progresif Kartini tentang dunia yang ideal, di mana semua orang setara.
Savitri menilai, evaluasi Pramoedya mengenai peran Kartini dalam masyarakat sangat maju. Sastrawan kelahiran Blora itu menekankan kemuliaan pikiran dan jiwa Kartini.
Mengagumi Multatuli
Ketokohan Kartini selalu diidentikan dengan emansipasi. Kesempatan yang sama, setara antara laki-laki dan perempuan.
Namun, Pramoedya melihat Kartini lebih dari itu, tak hanya soal perjuangan emansipasi.
Dikutip dari arsip Harian Kompas, Minggu 24 Desember 2000, F Ria Susanti menulis bahwa Pramoedya telah menyodorkan bukti Kartini merupakan pejuang nasionalisme, pendukung egalitarian dan pendobrak feodalisme.
Baca juga: Mengenal Sepak Terjang Multatuli, Sosok yang Menginspirasi RA Kartini
Menurut penelitian Pram, salah satu buku yang memengaruhi Kartini yakni Max Havelaar karya Multatuli alias Eduard Douwes Dekker.
Buku ini menceritakan pelaksanaan tanam paksa di Hindia Belanda. Penderitaan rakyat akibat tanam paksa dikisahkan Multatuli dalam tokoh Saija dan Adinda menguras emosi Kartini.
Kondisi yang digambarkan Multatuli itu tidak jauh beda dari situasi masyarakat pribumi Jepara saat itu.
Rakyat dimiskinkan oleh kerakusan penguasa Belanda dan kaum feodal pribumi yang menjilat penjajah.
Kartini terpukau dengan pandangan Multatuli, bahwa tugas manusia adalah menjadi manusia.
Baca juga: Kontroversi Penyebutan Gelar Kartini, Raden Ajeng atau Raden Ayu?
Kemudian, Kartini menolak ikatan apa saja yang mencoba menjauhkannya dari tugas manusia.
Budaya feodal ia lihat sebagai kendala untuk menjadi manusia.
Terkait feodalisme, Kartini bercerita melalui surat kepada sahabatnya, Stella Zeehandelaar, tanggal 18 Agustus 1899.
“Duh, kau akan menggigil, kalau ada di tengah keluarga pribumi yang terkemuka. Bicara dengan atasan haruslah sedemikian pelannya, hanya orang di dekatnya saja bisa dengar. Kalau seorang wanita muda tertawa o-heo, tak boleh dia buka mulutnya.”
Dalam wawancara yang diterbitkan majalah Playboy Indonesia edisi April 2006, Pram mengatakan, seharusnya buku Panggil Aku Kartini Saja terdiri atas empat jilid.
Dua jilid sempat diterbitkan, sedangkan yang lainnya dirampas militer pada era Orde Baru.
Ia mengaku karyanya itu hasil studi lapangan dan menemui saudara-saudaranya Kartini.
Bahkan, Pram memiliki buku keluarga Kartini yang ditulis dalam bahasa Jawa.
"Kartini itu luar biasa. Mendirikan sekolah dengan tenaga sendiri. Dia satu-satunya perempuan dengan pendidikan barat, waktu itu," kata Pram.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.