JAKARTA, KOMPAS.com - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dinilai tidak melindungi korban kesusilaan di internet atau korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).
Menurut peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati, penyebabnya adalah Pasal 27 Ayat 1 UU ITE tidak memberikan pengertian yang jelas tentang melanggar aspek kesusilaan.
"Nah ini menjadi suatu permasalahan terkait konten apa yang disebut melanggar kesusilaan. Di tahun 2016 lalu memang betul Pasal 27 di revisi oleh UU Nomor 19 Tahun 2016 tapi UU itu juga tidak bisa menjangkau revisi yang menjelaskan sebenarnya yang dimaksud oleh UU ITE terkait melanggar kesusilaan itu seperti apa," ujar Maidina dalam diskusi virtual ICJR, Selasa (20/4/2021).
Baca juga: LBH Apik: KDRT dan Kekerasan Berbasis Gender Online Meningkat sejak Pandemi
Adapun Pasal 27 Ayat 1 dalam UU ITE mengatur, setiap orang dengan sengaja dan tanpa gak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Pada pasal tersebut, Maidina memberi perhatian pada frasa mendistribusikan, mentransimisikan dan dapat diaksesnya informasi elektronik bermuatan pelanggaran kesusilaan.
Menurutnya, tidak ada batasan terkait ketentuan distribusi dan transmisi konten kesusilaan, yang justru akan berdampak pada korban kesusilaan.
"Unsur transmisi, distribusi dan membuat dapat diakses tidak memberikan batasan untuk tidak menyerang ranah privat dan tidak untuk menjerat korban," ungkap Maidina.
Baca juga: Gugus Tugas: Selama Pandemi, Kekerasan Berbasis Gender Naik 75 Persen
Maidina menuturkan, UU ITE tidak mengadopsi perlindungan terhadap korban kesusilaan. Lantaran UU tersebut tidak menjelaskan soal persetujuan.
Alhasil, UU ITE dapat menjerat korban kekerasan seksual, seperti yang terjadi pada kasus Baiq Nuril.
"UU ini buta, dia bisa menjerat korban. Seperti kasus Baiq Nuril yang menyimpan konten kekerasan seksual yang dilakukan atasannya, dia berikan pada orang lain, justru dijerat dengan Pasal 27 Ayat 1. Ini akan menciptakan iklim ketakutan pada korban," papar dia.
Selain itu, Maidina menambahkan, UU ITE tidak mengadopsi batasan-batasan perlindungan ruang privasi yang dimuat dalam UU Pornografi.
"Sehingga menimbulkan risiko (pelaporan) bagi teman-teman yang punya pasangan legal yang terlibat dalam konten intim pribadi," ungkap dia.
Baca juga: Rapat dengan Komisi III DPR, Komnas HAM Tegaskan Dukung Revisi UU ITE
Maidina memandang, UU ITE kemudian hanya fokus pada konten pelanggaran kesusilaan.
Sementara dalam konteks pelanggaran kesusilan dalam hukum di Indonesia dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, apabila konten itu ditujukan untuk umum.
Kedua, konten ditujukan untuk ranah privat, namun salah satu pihak tidak setuju atau tidak berkehendak.
"Nah konsep tidak berkehendak ini tidak diatur dalam UU ITE, di mana orientasinya hanya pada konten kesusilaan, maka tidak bisa melindungi korban-korban berbasis gender online yang tidak dia kehendaki," pungkas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.