Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan, proses pembentukan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan prosedur dan prinsip ketatanegaraan.
Salah satu indikasinya, pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang yang dipercepat dari 8 Oktober menjadi 5 Oktober.
Baca juga: Eks Pimpinan KPK Heran MK Belum Juga Putuskan Hasil Uji Materi UU KPK
Setelah pengesahan, draf final UU Cipta Kerja pun berubah-ubah.
"Itu semua melanggar moralitas demokrasi. Ketok palu bukan hanya seremoni. Dalam sebuah negara demokrasi, (paripurna) itu adalah persetujuan bersama, perwujudan dari Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Ada makna besar dalam demokrasi," ujar Bivitri dalam diskusi daring bertajuk Omnibus Law dan Aspirasi Publik, Sabtu (17/10/2020).
Bivitri menilai, proses pembahasan RUU Cipta Kerja terburu-buru dan menabrak ketentuan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, salah satunya soal asas keterbukaan.
Ia mencontohkan saat DPR dan pemerintah melakukan rapat pengambilan keputusan tingkat I pada 3 Oktober 2020. Rapat dilakukan jelang tengah malam.
"Pada saat keputusan tingkat I yang terjadi Sabtu di atas jam 10 malam saja itu tidak wajar," kata Bivitri.
Selain itu, merujuk Tata Tertib DPR, naskah RUU semestinya sudah siap pada saat rapat pengambilan keputusan tingkat I.
Baca juga: Kode Inisiatif: Uji Materi UU yang Baru Disahkan Naik Hampir 5 Kali Lipat pada 2020
Sebab, Tatib DPR menyatakan bahwa RUU harus dibacakan dalam pengambilan keputusan tingkat I.
"Di tingkat I itu harusnya ada naskah lengkapnya. Tapi kita tahu ini begitu terburu-buru, bahkan ada keinginan mempercepat rapat dari 8 Oktober ke 5 Oktober tanpa ada pemberitahuan memadai," tutur dia.
Bivitri pun menilai pembentukan UU Cipta Kerja merupakan contoh buruk proses legislasi. Tidak hanya melanggar prosedur pembentukan perundang-undangan, tapi juga melanggar moralitas demokrasi.
"Ini praktik yang sangat buruk. Dalam catatan kami, bahkan ini yang terburuk dalam proses legislasi selama ini, terutama pascareformasi," kata Bivitri.
UU KPK langgar asas pembentukan UU
Kemudian dugaan pelanggaran prosedur juga terjadi pada pengesahan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Mantan Komisioner KPK Laode M Syarif menilai ada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilanggar dalam proses revisi UU KPK.
Baca juga: KPK Tak Hanya Sekali Gagal Penggeledahan, ICW Nilai Dampak Buruk UU KPK Baru