JAKARTA, KOMPAS.com – Dalam banyak kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pejabat negara kerap terjerat tindak pidana terkait gratifikasi dan suap.
Umumnya, penerimaan gratifikasi dilakukan seorang penyelenggara negara, terutama seseorang yang memiliki jabatan dan memiliki wewenang untuk membuat keputusan.
Ketentuan gratifikasi diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Pasal 12B mengatur, Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Kemudian berdasarkan Pasal 12C Ayat (1), pemberian gratifikasi tidak dianggap suap jika penerima melaporkannya kepada KPK.
Baca juga: Cara Melaporkan Gratifikasi, Proses di KPK, dan Sanksi bagi Penerima
Dalam arti luas, gratifikasi meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya.
Misalnya, pengusaha memberi hadiah voucher belanja kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) karena merasa terbantu dalam pengurusan perizinan.
Sedangkan tindakan suap bersifat transaksional. Artinya, ada kehendak pertemuan antara pemberi dan penerima, kegiatan suap itu umumnya dilakukan secara tertutup.
Perbedaan suap dan gratifikasi
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej dalam program Melek Hukum yang tayang di Kompas TV mengatakan, suap adalah tindakan yang dilandasi oleh kesepakatan antara pemberi dan penerima.
Sedangkan dalam gratifikasi tidak ada kesepakatan antara pemberi dan penerima.
Eddy Hiariej mengatakan, jika memperhatikan ketentuan pasal disebutkan setiap gratifikasi dianggap sebagai pemberian suap.
“Maka pertanyaan masyarakat awam yakni mengapa gratifikasi tidak dimasukkan ke dalam suap saja?” kata Eddy.
“Ternyata di situ ada perbedaannya, perbedaannya itu tadi, yang satu ada kesepakatan, yang satu tidak ada kesepatakan,” ucapnya.
Baca juga: Dari Anas Urbaningrum, Nazaruddin, hingga Nurhadi, Deretan Kasus Gratifikasi yang Jadi Sorotan
Eddy mencontohkan perbedaan antara tindakan suap dengan gratifikasi dalam kasus penerimaan pegawai.
Jika kepala kantor yang statusnya PNS didatangi oleh seorang calon pegawai yang memohon agar diterima dan menjanjikan akan memberi misalnya Rp 200 juta agar diterima.
Kemudian permintaan itu disetujui oleh kepala kantor tersebut, maka kegiatan itu masuk dalam tindakan suap.
“Dan pada saat dia diterima, dia datang, memberikan uang tersebut, itu namanya suap, karena apa? Karena ada kesepakatan,” ucap Eddy.
Dalam contoh kasus yang sama dapat disebut gratifikasi jika tidak ada pertemuan antara kepala kantor dengan calon pegawai.
Kemudian calon pegawai datang setelah diterima dan memberikan sejumlah uang sebagai tanda terima kasih.
“Ini kalau tanda terima namanya gratifikasi, jadi tidak ada kesepakatan sebelumnya, Itulah yang membedakan antara gratifikasi dan suap, sederhananya begitu,” tutur Eddy.
Baca juga: Apa Saja Kriteria Gratifikasi yang Tak Perlu Dilaporkan kepada KPK?
Secara terpisah, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, gratifikasi adalah pemberian kepada penyelenggara negara yang tidak berkaitan dengan jabatannya.
Ia menyebut, gratifikasi bisa menjadi suap apabila berkaitan dengan jabatan dan berlawanan kewajiban atau tugasnya.
"Karena itu tidak mungkin seseorang menerima sesuatu tidak berkaitan dengan jabatan," ucap Fickar kepada Kompas.com, Kamis (15/4/2021).
Fickar menambahkan, dalam UU Tipikor, jika nilai gratifikasi Rp 10 juta ke atas maka penerima harus membuktikan yang diterimanya bukanlah sebuah suap.
Baca juga: Mengenal Gratifikasi: Definisi, Dasar Hukum dan Tata Cara Pelaporannya
Akan tetapi, jika nilai gratifikasi kurang dari Rp 10 juta, maka yang membuktikan gratifikasi itu suap adalah penuntut umum di persidangan.
"Dari ketentuan tersebut bisa disimpulkan bahwa gratifikasi itu diasumsikan suap juga yang pembuktiannya tergantung pada besarnya," ucap Fickar.
Ancaman sanksi
Pegawai negeri atau penyelenggara negara dapat diancam pidana jika terbukti menerima gratifikasi dan tidak melaporkannya ke KPK.
Pasal 12 B UU Tipikor menyatakan, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang terbukti menerima gratifikasi dapat dihukum minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara serta denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.
Baca juga: Agama Memandang Gratifikasi: Ancaman untuk Pemberi-Penerima, hingga Membutakan Orang Bijak
Pemidanaan berbagai bentuk pemberian tidak hanya dibebankan kepada penerima, tetapi juga pada pemberi.
Bagi pemberi, pemberian kepada pihak pegawai negeri dapat bertentangan Pasal 5 ayat (1) dan pasal 13 UU Tipikor.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.