JAKARTA, KOMPAS.com - Kondisi kebebasan berekspresi dan demokrasi dinilai memburuk pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Salah satu indikatornya, pola pembungkaman kritik yang disampaikan melalui media massa maupun media sosial.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Herlambang P Wiratraman mengatakan, pembungkaman terhadap media massa yang memberitakan kritik kepada penguasa saat ini semakin kompleks.
Sebab, pembungkaman tidak lagi dilakukan dengan menutup atau mencabut izin penerbitan media, seperti yang terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru.
"Di masa (Presiden) Soekarno, pada 1958, beliau pernah menutup puluhan media. Bahkan (cara) menutupnya Beliau cukup dengan telepon," ujar Herlambang dalam diskusi virtual bertajuk Kebebasan Ekspresi, Hukum, dan Dinamika Perkembangannya, Selasa (14/4/2021).
Baca juga: Akademisi Sebut Pembungkaman Kritik di Era Jokowi Makin Kompleks
Kemudian, pada era Presiden Soeharto, pihak yang mengkritisi atau dianggap oposisi dibungkam.
Media pun mendapat sensor bahkan sampai ditutup apabila memuat pemberitaan yang mengkritisi pemerintah saat itu.
Kini upaya pembungkaman cenderung berupa serangan digital, misalnya doxing atau pembongkaran serta penyebaran data pribadi.
Di sisi lain, upaya sensor, persekusi dan pemenjaraan juga masih terjadi.
"Sementara kalau hari ini kompleks. Seiring dengan perkembangan teknologi, cara membungkam kritik terhadap penyelenggara kekuasaan bukan dengan ditutup aksesnya tetapi diserbu lewat informasi yang tidak relevan," ucap Herlambang.
Dengan kata lain, Herlambang menegaskan, pembungkaman kritik di era digital juga dapat dilakukan dengan memproduksi hoaks.
Kemunduran demokrasi
Semakin kompleksnya pembungkaman media pada akhirnya berdampak pada kemunduran demokrasi.
Herlambang mencontohkan saat ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menyampaikan kritik atas pengembangan obat Covid-19. Setelah itu akun media sosial Pandu diretas.
Baca juga: Amnesty: Peretasan Situs Tempo dan Pandu Riono Serangan terhadap Kebebasan Berekspresi
Kemudian, kasus yang dialami mahasiswa Universitas Gadjah Mada dan narasumber dalam studi konstitusi terkait diskusi soal pemberhentian presiden.
"Yang jadi tanda tanya, mulai dari panitia, penyelenggara diskusi bisa sampai berhenti dan dibubarkan dengan serangan-serangan digital," kata Herlambang.
"Bahkan mereka menerima teror dalam bentuk ada yang mengirim makanan menggunakan ojek online padahal tidak dipesan, didatangi orang-orang tidak jelas, digedor-gedor," lanjutnya.
Meski demikian, Herlambang menyebut dua kejadian itu tidak mengejutkan. Sebab pada tahun-tahun sebelumnya juga terjadi peristiwa serupa.
Baca juga: Penangkapan Dandhy Laksono dan Ananda Badudu yang Mengejutkan Publik...
Ia menyinggung penangkapan jurnalis sekaligus sutradara film dokumenter Dandhy Laksono pada Kamis (26/9/2019) malam.
Dandhy diperiksa atas kasus dugaan penyebaran ujaran kebencian oleh penyidik Ditreskrimsus Polda Metro Jaya.
Dandhy dicecar 14 pertanyaan terkait kicauan akun Twitternya terkait Papua dan Wamena pada 23 September 2019.
"Misalnya saat malam-malam Mas Dandy Laksono dibawa polisi," ujar Herlambang.
"Memang serangan digital maupun serangan ke kampus-kampus bertubi-tubi bahkan sudah tercatat sejak 2015," tambahnya.
Akademisi, jurnalis dan aktivis jadi target
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat 147 serangan digital yang terjadi sepanjang 2020.
Mayoritas serangan di dunia maya tersebut menyasar kelompok yang sering menyampaikan kritik, yakni akademisi, jurnalis dan aktivis.
"Sepanjang 2020, kami temukan 147 insiden serangan digital. Sebanyak 85 persennya tertuju kepada kelompok kritis. Salah satunya teman-teman akademisi," ujar Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto.
Baca juga: Mayoritas Serangan Digital Menyasar Akademisi, Jurnalis dan Aktivis