JAKARTA, KOMPAS.com – Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan, total kerugian negara akibat tindak pidana korupsi selama 2020 mencapai Rp 56,7 triliun dan kerugian atas kasus suap sebesar Rp 322 miliar.
Sementara, pidana pengganti yang dijatuhkan kepada para terpidana korupsi hanya sebesar Rp 19,6 triliun, dengan total nilai denda sebesar Rp 156 miliar.
Ada gap antara kerugian negara dengan uang yang kembali atas penindakan kasus korupsi di Indonesia.
Baca juga: ICW: Sepanjang 2020 Ada 1.298 Terdakwa Kasus Korupsi, Kerugian Negara Rp 56,7 Triliun
Selain itu, penggunaan hukuman badan atau kurungan penjara pada para koruptor juga terbilang rendah.
Dari 1.298 terdakwa kasus korupsi di tahun 2020, ICW mencatat rata-rata vonis yang diberikan majelis hakim hanya 3 tahun dan 1 bulan.
Berkaca pada temuan tersebut, urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana yang hanya menjadi wacana sejak 2012 perlu digaungkan kembali.
RUU ini dinilai dapat menjadi jalan baru untuk mendukung upaya pencegahan dan penguatan pemberantasan korupsi.
Menindak semua kejahatan ekonomi
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae mengatakan, RUU Perampasan Aset bisa digunakan untuk menindak semua kejahatan ekonomi, bukan hanya kejahatan korupsi.
Kejahatan ekonomi, selain kasus korupsi, yakni terkait narkoba, penipuan, kejahatan perbankan, kejahatan dalam pasar modal, hingga penebangan hutan ilegal.
Baca juga: Kepala PPATK: RUU Perampasan Aset Bisa Tindak Semua Jenis Kejahatan Ekonomi
Dian menilai, dampak dari implementasi RUU Perampasan Aset akan berdampak pada perekonomian bangsa.
Mulai dari konteks pertumbuhan ekonomi hingga proses pembuatan keputusan atau kebijakan strategis.
“Kalau kita berhasil memberantas tindak pidana ekonomi secara efektif ini jelas akan membantu pertumbuhan ekonomi kita, membantu juga kesejahteraan rakyat dan lain sebagainya,” ujar Dian, Jumat (9/4/2021).
Macet di Parlemen
Desakan publik terkait pengesahan RUU Perampasan Aset belum direspons secara maksimal oleh pemerintah dan DPR.